Sebelum Syekh Subakir, Tahukah Anda? Tanah Jawa Dikuasai Sekte Ini, Ritual Mengerikan Kaum Bhairawa

Sebelum Syekh Subakir, Tahukah Anda? Tanah Jawa Dikuasai Sekte Ini, Ritual Mengerikan Kaum Bhairawa

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri zoom-inlihat fotoMengenal Maithuna, Ajaran Tantra Bairawa Wujud Cinta dan Kasih Sayang Istimewa Simbol konsep maithuna dalam Panca Makara sebagai bagian ajaran Tantra Bairawa --

Aliran ini juga sering dinamakan Bhairawatantra karena pemujaanya yang ditujukan kepada Dewa Siwa. Pada umumnya dalam Trimurti, Siwa dipandang sebagai Mahadewa (Dewa Tertinggi), Maheçwara (Maha Kuasa), dan Mahakala (Sang Waktu).

Sebagai dewa  waktu, Siwa dianggap sebagai dewa yang sangat berkuasa sebab waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Pemujaan terhadap Siwa senantiasa disertai dengan permohonan, harapan, dan serati dengan rasa takut yang sangat.

Siwa juga dianggap sebagai Mahaguru dan Mahayogi yang menjadi teladan dan pemimpin bagi para petapa. Secara khusus Siwa juga dipuja sebagai Bhairawa sebagai salah satu aspek perwujudannya yang siap membinasakan kehidupan dan segala yang ada. 

Sekte ini merupakan bentuk sinkretisme dari Siwa-Budha dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu maka kecenderungan jiwa pada akhirnya akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut.

Menurut ajaran ini, dalam buku Dr. Prijohutomo, Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. 

Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari  matsiya (ikan), mamsa (daging), mada (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”, juga berarti sikap tangan yang dianggap melahirkan kekuatan gaib), dan maithuna (seks bebas). (Prof. Dr. H. M. Rasjidi,  Islam dan Kebatinan. (Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967). Hal. 68. Lihat juga  Drs. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988). Hal. 33-34).

Paul Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). Disebutkan, dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. 

Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra.

Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan çakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Sisa-sisa ajaran ini di Jawa masih dapat dijumpai dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten atau kesaktian. (Prof. Dr. Koentjoroningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007). Hal. 347

Kaum Bhairawa melakukan pemujaan pada malam hari dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para dewa. Semakin menyengat bau mayat yang terbakar semakin menyenangkan bagi mereka, sebab bau tersebut disetarakan denga wangi sepuluh ribu bunga yang membawa keselamatan bagi mereka.

Biasanya manusia-manusia yang masih hidup dikorbankan pula. Korban tersebut ditelentangkan, kemudian seorang pendeta akan menusukkan pisau besar ke perut korban dan mengirisnya ke arah tulang rusuk bagian bawah.

Jantungnya kemudian diambil dan darahnya diperas ke dalam sebuah gelas tengkorak atau bejana lainnya untuk selanjutnya diminum sampai habis. Proses menuang dan meminum darah ini dilakukan berulangkali. Sang pendeta yang mengalami kondisi trance kemudian menari-nari sambil bersuara histeris.

Upacara keagamaan yang mengerikan ini biasanya diringi ritual persetubuhan dengan para perempuan. Secara rinci ritual ini meliputi perilaku antara lain bersemadi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah, memakan daging jenazah, minum darah, tertawa-tawa, dan mengeluarkan bunyi seperti banteng serta termasuk persetubuhan. (Friedrich Schnitger, Reruntuhan … Hal. 257-258;  Ny. Dra. S. Soeleiman, Peninggalan … Hal. 22. Lihat P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Cetakan III. Terjemahan dari Pantheism en Monism in de Javaansche Soeloek-Literatuur oleh Dick Hartoko. (PT Gramedia, Jakarta, 1995). Hal. 279).

Adanya ritual persetubuhan (maithuna) dalam Bhairawa Tantra mungkin didasarkan kepada pandangan sebagian agama yang hidup di Indonesia saat itu, yang memandang hubungan kelamin mempunyai arti mistik. Hubungan seksual bukan hanya terjadi dalam keluarga antara suami-istri, melainkan juga hubungan seksual dalam upacara keagamaan.

Praktik persetubuhan ini dimaknai sebagai simbol  kemakmuran dan kesuburan, seperti pengharapan agar hujan turun, hasil panen melimpah, ternak berkembang, atau dimaksudkan untuk pertahanan secara magis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: