Santi Asromo, Dua Kali Dibakar Belanda, Pondok Pesantren Unik di Majalengka

Santi Asromo, Dua Kali Dibakar Belanda, Pondok Pesantren Unik di Majalengka

Pondok pesantren (Ponpes) ini sangat unik. Namanya Ponpes Santi Asromo. Nama ini memang tidak mencerminkan sebuah ponpes. Bahkan lebih mirip nama padepokan. (IST)--

Tidak bisa dibayangkan betapa terpencilnya Desa Pasirayu, Kecamatan Sindang Kabupaten Majalengka pada tahun 1923. Di tempat itulah ketika itu mulai didirikan sebuah pondok pesantren. 
 
Sekarang ini, untuk menjangkau desa tersebut bisa ditempuh dari Majalengka Kota melalui Sukahaji. Atau juga bisa lewat Rajagaluh, Pajajar, Sindang, baru menuju desa tersebut.
 
 
Pondok pesantren (Ponpes) ini sangat unik. Namanya Ponpes Santi Asromo. Nama ini memang tidak mencerminkan sebuah ponpes. Bahkan lebih mirip nama padepokan.
 
Yang unik lainnya, ponpes ini namanya menggunakan bahasa Sangsekerta. Padahal pondok ini berada di lingkungan masyarakat pasundan Majalengka. 

 
Tentu ada alasan lain mengapa ponpes tersebut tidak menggunakan bahasa Arab seperti pondok-pondok pada umumnya.
 
Atau tidak menggunakan nama berbahasa Sunda. Padahal pondok ini berlokasi di tengah-tengah masyarakat yang berbahasa dan berbudaya Sunda.
 
Ternyata alasan menggunakan nama Santi Asromo itu, juga erat kaitannya dengan kondisi Desa Pasirayu Kecamatan Sindang itu.
 
Yang ketika didirikan pada 3 April 1932 itu masih terpencil dan jauh dari keramaian.
 
 
Ponpes Santi Asromo berada di Desa Pasirayu, Kecamatan Sindang, Majalengka, Jawa Barat. Pondok ini didirikan oleh pahlawan nasional asal Majalengka bernama KH Abdul Halim pada 3 April 1932. 
 
Santi Asromo banyak berperan dalam pengembangan pendidikan Islam di Majalengka. 

 
Didirikannya Ponpes Santi Asromo ini berawal dari gagasan yang tercetus dalam Muktamar Perserikatan Oelama (PO) di Majalengka pada tahun 1931.
 
Ketika itu, KH Abdul Halim menggagas untuk mendirikan lembaga pendidikan di tempat khusus. Lembaga itu ingin menjadikan peserta didiknya mampu mandiri di tengah masyarakat.
 
 
Bukan hanya sekarang saja, pondok ini sempat dianggap aneh pada masanya. Persoalannya nama yang diambil untuk pesantren ini.
 
Pesantren ini tidak menggunakan bahasa arab seperti pesantren lainnya.
 
Nama Santi Asromo diambil dari bahasa sansekerta yang berarti tempat yang sunyi.
 
 
Hal itu karena lokasi Santi Asromo yang berada di tengah-tengah perbukitan dan jauh dari keramaian.
 
Kata “Santi” artinya sunyi. Sementara kata “Asromo”, artinya tempat. Jika disatukan berarti tempat yang sunyi. 
 
Bisa dibayangkan tahun 1932 tempat itu masih hutan. Bahkan belum ada jalan menuju ke pondok itu. 

 
KH Abdul Halim sendiri yang memilih nama Santi Asmoro. Mbah Halim, begitu ia dikenang, memilih nama itu karena ingin menggunakan bahasa asli Nusantara.
 
Tidak mulus membangun dan mengembangkan pondok tersebut. Perjalanan Ponpes Santi Asromo dalam mengembangkan pendidikan Islam di Majalengka harus melalui jalan terjal. 

 
Bahkan ketika zaman Belanda, pesantren ini sempat dua kali dibakar oleh penjajah.
 
Penyebabnya karena Belanda merasa tercancam dengan gerakan yang dilakukan KH Abdul Halim saat itu. 
 
KH Abdul Halim juga sempat akan dibunuh pada masa pemberontakan DI/TII. Tapi Mbah Halim selamat dan mengungsi di lereng Gunung Ciremai.
 
Mbah Halim memang visioner membangun pondok itu. Sejak awal didirikan telah menerapkan metode pembelajaran modern. 
 
Di antaranya, dalam proses belajar mengajar sudah menggunakan bangku dan kursi. Bahkan Mbah Halim juga mengharuskan santrinya memakai celana serta baju.
 
 
Berbeda dengan ponpes pada umumnya ketika itu. Sebagian besar masih belajar secara lesehan. Juga para santri masih menggunakan sarung.
 
Saat ini, Santi Asromo berkembang pesat. Ribuan santri belajar di ponpes ini. Selain itu juga menyediakan pembelajaran formal. Mulai dari tingkat RA, MI, SMP, Mts dan SMA.
 
 
Tak pungkiri, jika Santi Asromo menjadi saksi di balik perjuangan kaum ulama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di tengah tekanan kolonial Belanda. 
 
Wajar jika pendirinya dianugerahi Pahlawan Nasional. Dia memang tokoh pergerakan nasional sekaligus ulama Islam terkemuka pada zamannya.
 
KH Abdul Halim ulama besar tanah Pasundan ini menghadap Ilahi pada tanggal 7 Mei 1962. Tokoh nasional ini dikebumikan di Majalengka dalam usia 74 tahun. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: