Wisata Gang di Kota Cirebon; Dari Petilasan Bobotoh Prabu Siliwangi hingga Situs 'Babone Pedati'

Wisata Gang di Kota Cirebon; Dari Petilasan Bobotoh Prabu Siliwangi hingga Situs 'Babone Pedati'

Pedati Gede-dok-Radarmajalengka.com

RADARMAJALENGKA.COM - Ada banyak situs bersejarah di Kota Cirebon, Jawa Barat yang letaknya berada di dalam gang-gang sempit.

Situs-situs yang sekarang telah menjadi obyek kunjungan para pelancong ini, disebut dengan istilah Wisata Gang.

Ada banyak situs di Wisata Gang. Dari petilasan pendukung atau bobotoh Prabu Siliwangi hingga pedati berteknologi modern pada zamannya.

Karena kehebatan dan dicontoh banyak pihak, maka kendaraan itu disebut sebagai “Babone Pendati” di Pulau Jawa.

BACA JUGA:Petilasan Bobotoh Prabu Siliwangi Ini, Miliki 'Sumur Sakti', Diyakini Bisa Sembuhkan Penyakit

Masih banyak lagi obyek wisata yang lokasinya di dalam gang-gang. Atau berada di jalan-jalan sempit yang repot jika dijangkau dengan kendaraan roda empat.

Walau di gang-gang atau jalan-jalan sempit, wisata ini secara natural dikunjungi banyak pelancong.

Salah satu daya tarik banyak orang datang ke tempat Wisata Gang tersebut lantaran khariswa dan kesakralan tempat tersebut.

Memang bila bicara pariwisata di Kota Cirebon, tak bisa dipisahkan dengan wisata religi dan sejarah. Bahkan, keunggulan pariwisata di kota ini adalah situs peninggalan masa lalunya.

BACA JUGA:Rekening BCA Otomatis Tutup Berlaku 1 November 2023, Simak Penjelasannya

Situs-situs peninggalan masa lalu yang sekarang sudah menjadi tujuan wisata religi ini, berada di gang-gang sempit di berbagai lokasi di Kota Cirebon, Jawa Barat.

Karena lokasinya yang berada di gang-gang, maka lokasi wisata itu disebut  “Wisata Gang”. Nama ini lebih tepat menggambarkan lokasi, mudah diingat dan sangat “menjual”.

Jarang istilah ini dipakai untuk pariwisata. Tapi di Kota Cirebon juga sedang dipopulerkan untuk menjual wisata religi yang sebagian berada di gang-gang itu.

Salah satu yang menganjurkan untuk memakai istilah ini adalah jurnalis Radar Cirebon Group Yanto S Utomo. Seperti yang ia tulis di surat kabar Radar Cirebon, beberapa waktu lalu.

BACA JUGA:Indonesia Jadi Wilayah Perang Spionase Asing, Jika Dokumen CIA Soal Pemilu 2024 Itu Benar, Siapa Targetnya?

Banyak Wisata Gang yang ada di Kota Cirebon. Namun sebagian besar terkait dengan peninggalan sejarah perkembangan Islam di daerah ini.

Berikut ini ada 6 obyek Wisata Gang yang bisa menjadi rujukan:

1/ Pedati Gede

Pedati Gede Pekalangan merupakan salah satu peninggalan sarat sejarah bagi Kota Cirebon, lantaran sudah ada sejak tahun 1371.

Berdasarkan catatan sejarah yakni Gedenk Boek der Gemeente Cheribon, Pedati Gede Pekalangan dikemudikan oleh Syekh Maulana yang berasal dari Yaman.

Mengacu catatan sejarah tersebut, Syekh Maulana yang berasal dari Yaman bergerlar Ki Gede Pekalangan karenanya nama pedati tersebut juga disebut sesuai juru mudinya.

Namun, berdasarkan catatan Keraton Kacirebonan, dijelaskan bahwa pedati tersebut dibuat di masa Pangeran Walangsungsang pada 1371 Saka atau 1449 Masehi.

BACA JUGA:Atlet Catur Junior Sabet 2 Emas

Pada saat itu, Pedati Gede Pekalangan dipakai untuk syiar Islam dari wilayah Cirebon sampai ke Tegal juga beberapa kawasan di Pantai Utara.

Selain media dakwah Islam, Pedati Gede juga dipakai saat mengangkut material kayu dan banyunan untuk pengerjaan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Artinya, pada masa Sunan Gunung Jati sekitar 1480 Pedati Gede Pekalangan masih digunakan dan difungsikan untuk pengerjaan masjid tersebut.

Pada masa itu, Pedati Gede Pekalangan bisa dibilang sudah sangat canggih dari sisi teknologi. Sebab, sudah menggunakan prinsip suspensi dan lainnya.

Karenanya, di tahun 1.500-an Sultan Cirebon Pangeran Mas Zainul Arifin, mengizinkan agar teknologi Pedati Gede Pekalangan diadaptasi oleh kereta-kereta lainnya yang dibuat masyarakat.

BACA JUGA:Pejuang Anies Sosialisasi Pake Bus, Kunjungi Pasar Ikan dan Pontren Saung Balong Al Barokah

Lebih dari itu pedati ini merupakan simbol mahakarya Kebudayaan Cirebon. Oleh Herman De Vost menyebut pedati itu sebagai babone pedati di Jawa.

Sayangnya pada tahun 1907 Pedati Gede Pekalangan terbakar. Karenanya setengah bagiannya hilang dan tersisa hanya 8,9 meter dari ukuran asli.

Peninggalan Pedati Gede Pekalangan ini berada di Jalan Pekalangan Tengah Gang Pedati Gede Kelurahan Pekalangan Kecamatan Pekalipan Kota Cirebon.

2/ Masjid Jagabayan

Sejarah Mesjid Jagabayan di Jl Karanggetas, Kota Cirebon, tidak lepas dari sosok Prabu Siliwangi dan Pangeran Walangsungsang.
Mengacu pada sejumlah sumber sejarah, Mesjid Jagabayan Cirebon didirikan oleh Pangeran Nalarasa sekitar tahun 1473 M, dan tadinya adalah pos jaga.

Pangeran Nalarasa adalah pendukung utama atau bobotoh dan salah satu patih utusan Prabu Siliwang untuk Cirebon. Ketika itu, mendirikan pos jaga yang menjadi sejarah awal Masjid Jagabayan Cirebon.

BACA JUGA:Sebut Tak Setuju Sosialis-Komunis di Banten, Simak Pernyataan Tegas Hasto PDI Perjuangan Berhaluan Kiri

Pos jaga itu, dimaksudkan untuk tempat pemantauan sehubungan tugas yang diberikan oleh Prabu Siliwangi. Yakni, mencari Pangeran Walangsungsang yang merupakan Putera Mahkota Kerajaan Pajajaran.

Tidak hanya mencari Pangeran Walangsungsang, Patih Nalarasa juga ditugaskan Prabu Siliwangi untuk mengintai aktivitas Kerajaan Cirebon yang pada waktu itu baru berdiri dan bercorak Islam.

Namun, informasi yang didengungkan bahwa di Cirebon ada kerajaan baru justru tidak dijumpai Pangeran Nalarasa. Yang ada justru pondok tempat orang mengaji dan sangat ramai.

Di pondok itu, banyak santri-santri yang sedang mengaji. Saat memasuki salah satu pondok Pangeran Nalarasa bertemu dengan Pangeran Walangsungsang.

Namun yang terjadi bukannya membawa Pangeran Walangsungsang untuk kembali ke Kerajaan Pajajaran, Pangeran Nalarasa justru masuk memeluk agama Islam dan tinggal menetap di Cirebon. Oleh Sunan Gunung Jati diberi gelar Tumenggung Jagabayan.

BACA JUGA:Investasi BIJB, Ratusan Miliar Terancam Batal Cair, Pemkab Majalengka Geser ke Revitalisasi Pasar?

Konon, sebelum adanya masjid di Cirebon, di sinilah tempat musyawarahnya para Wali Cirebon.

Namun, hanya berbentuk pos penjagaan Kerajaan Pakungwati, tepat di depan gerbang Keraton Cirebon. Dari sinilah cikal bakal Masjid Jagabayan terbentuk.

Hingga kini, ada hal unik di Masjid Jagabayan ini yaitu pada malam Jumat Kliwon masyarakat dari berbagai daerah datang untuk melakukan doa bersama dan tawasul.
Serta mengirimkan doa kepada para Wali dan Sesepuh Cirebon sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka.

Tradisi ini khusus diadakan di Mesjid Jagabayan Cirebon mengingat sejarah di balik berdirinya masjid ini. Selain itu, di sini terdapat sumur yang dipercaya sebagai wasilah keselamatan, dan penjagaan.

3/ Makam Aria Wiracula

Makam Tumenggung Aria Wiracula yang berada di Jalan Sukalila Utara Kelurahan Kejaksan, Kota Cirebon, masih tetap terawat dan terjaga.

Tumenggung Aria Wiracula atau mempunyai nama asli Tan Sam Tjai Khong merupakan salah satu sosok penting dalam sejarah perkembangan Kota Cirebon.

BACA JUGA:Pernah Nginap di Bandara Kertajati Saat KTT ke-43 ASEAN, Pesawat PM Kanada Ini Alami Gangguan di Bandara India

Tumenggung Aria Wiracula merupakan yang berjasa bagi perkembangan ekonomi Kota Cirebon membuat pusaranya sering kali di ziarahi.

Pengunjung rata-rata didominasi oleh warga keturunan Tionghoa yang ingin berdoa dan bersembahyang di makam tersebut.
Biasanya yang ramai itu pada saat Imlek atau Cap Go Meh.

Makam Aria Wiracula tepat berada di sebelah kanan makam istrinya yang bernama Lao Lip Ay. Oleh karenanya, pemakaman ini juga dikenal dengan sebuatan makam Siang Kong atau makam suami istri.

Sementara, dua makam para pengawal nampak terletak di sisi kanan dan belakang makam Tumenggung Aria Wiracula. Terdapat juga sebuah makam yang diduga sebagai kuburan kuda peliharaan Tumenggung Aria Wiracula.

Dua makam pembantu berada di bagian belakang makam utama. Dua makam inilah yang bentuknya seperti makam umat Islam di Indonesia.

BACA JUGA:Pernah Nginap di Bandara Kertajati Saat KTT ke-43 ASEAN, Pesawat PM Kanada Ini Alami Gangguan di Bandara India

4/ Masjid Merah Panjunan

Masjid ini berumur sekitar 524 tahun. Mulanya  tahun 1480 merupakan sebuah surau yang dibangun oleh Pangeran Panjunan (Syarif Abdurrahman). Dahulu ukurannya 150 m2.

Surau ini dibangun 18 tahun sebelum pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa. Dengan demikian, surau ini merupakan tempat ibadat umat Islam kedua di Cirebon, setelah  Tajug Pejlagrahan di Kampung Sitimulya. 

Dikenal  dengan nama Masjid Merah karena dindingnya dibangun dari susunan bata merah ekspose. Sementara Panjunan menunjuk pada nama kampung di mana masjid ini berada.

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, surau ini kerap digunakan untuk pengajian dan musyawarah Wali Sanga.

Ketika Kesultanan Cirebon diperintah Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati), sekitar 1549, halaman masjid dipagar dengan kuta kosod. Pada pintu masuk dibangun sepasang candi bentar dan pintu panel jati berukir.

BACA JUGA:Karawang: 13 Desa 6.301 Keluarga 16.289 Jiwa Terpapar Bencana Kekeringan

Sekitar tahun 1978 masyarakat setempat membangun menara pada halaman depan sebelah selatan, sementara candi bentar dan pintu panel dibongkar.

Keadaan tata ruang masjid yang masih terawat ini bertahan hingga sekarang. Hanya pernah penggantian atap sirap oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat pada tahun 2001-2002.

Pembangunan Mesjid Merah Panjunan berkaitan dengan migrasi keturunan Arab ke Cirebon pada sekitar abad ke-15.

Dalam  Babad Cirebon (Suleman Sulendraningrat, 1984) dikisahkan, bahwa Syarif Abdurakhman dan ketiga adiknya diperintah ayahnya (Sultan Bagdad) untuk bermigrasi ke Pulau Jawa.

Mereka adalah Syarif Abdurachim, Syarif Kafi dan Syarifah Bagdad. Daerah tujuan mereka adalah Cirebon.

BACA JUGA:Sempat Ada Percikan Api di Atap Peron, Begini Suasana Kantor Kereta Cepat Jakarta - Bandung Stasiun Halim

Di  Cirebon mereka berguru pada Syekh Nurjati di Pesambangan, Gunung Jati. Oleh Syekh Nurjati mereka diperkenalkan kepada Pangeran Cakrabuwana (Kuwu Cerbon).

Pangeran Cakrabuwana menerima mereka dengan baik, dan menyuruh Syarif Abdurakhman untuk membangun pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Panjunan.  

Sedangkan Syarif Abdurakhim membangun pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Kejaksan.

Syarif Abdurakhman dikenal dengan nama Pangeran Panjunan, sementara Syarif Abdurakhim dikenal juga dengan nama Pangeran Kejaksan.

Selain melakukan syiar Islam, di daerah pemukiman baru ini, Syarif Abdurakhman juga mengembangkan pembuatan peralatan rumah tangga dari tanah liat atau gerabah atau anjun.

Pada masa Kesultanan Cirebon, daerah ini merupakan pusat pembuatan gerabah. Oleh karena itu, daerah ini disebut Panjunan.
Masjid ini terdapat di Jalan Pengobongan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk.

Luas lahan mesjid sekitar 575 M2 dan luas bangunannya sendiri sekitar 139,5 M2. Sedangkan batas-batas masjid adalah: Jalan Kolektoran pada sebelah utara, Jalan Pengobongan pada sebelah timur, dan rumah penduduk pada sebelah selatan dan barat.

BACA JUGA:BOCOR: Badan Intelijen Ini Persiapkan Skenario Revolusi Pilpres 2024, Jokowi Nasib Mirip Bung Karno?

5/ Petilasan Sunan Kalijaga

Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon, Jawa Barat, menjadi salah satu tempat wisata religi bagi masyarakat. Petilasan yang juga dikenal sebagai Situs Taman Kera ini berada di Jalan Pramuka, Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.

Lokasi petilasan cukup mudah dijangkau, lantaran berada di tengah permukiman penduduk dan hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Cirebon.

Kompleks petilasan ini sendiri memiliki luas sekitar 20.000 meter persegi. Kompleks ini dilalui dua aliran sungai yang masing-masing memiliki nama yang berbeda-beda.

Di dalam kompleks petilasan terdapat bangunan petilasan, sumur kuno, masjid, makam dan berupa hutan lindung yang dihuni puluhan kera.

Masyarakat setempat menyebut bangunan petilasan dengan istilah Pesarean. Kata ini berasal dari bahasa Jawa yang artinya tempat peristirahatan.

BACA JUGA:Gunung Balay Piramida Majalengka, Petilasan Pertapaan Cikal Bakal Sumedang Larang, Siapa Prabu Aji Putih?

Bangunan pesarean berbentuk huruf L, yang memiliki tiga ruang. Ruangan pertama difungsikan sebagai tempat peziarah.
Ruangan kedua tempat beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga dipercaya sebagai tempat tidur Sunan Kalijaga yang tertutup kelambu.

Sunan Kalijaga adalah salah satu Wali Songo yang dikenal senang mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk berdakwah.

Salah satu tempat yang dikunjungi Sunan Kalijaga adalah daerah Cirebon.
Berdasarkan keterangan yang ada, Sunan Kalijaga tercatat beberapa kali berkunjung dan menetap beberapa saat di Cirebon.

Kunjungan pertama Sunan Kalijaga di Cirebon bermaksud untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi. Datuk Kahfi dikenal sebagai seorang tokoh penyebar agama Islam di wilayah Cirebon, sekaligus leluhur bagi pembesar Sumedang.

Sementara kunjungan Sunan Kalijaga berikutnya dalam rangka menjalankan tugas sebagai wali. Sunan Kalijaga juga terlibat dalam pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon.

Masjid ini dibangun atas inisiatif Sunan Gunung Jati, dan pembangunannya dipimpin langsung oleh Sunan Kalijaga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: