Jelang Pilpres 2024 Ada Penumpang Peteng, Ahli Spiritual: Politik Butuh Spiritualitas, Bukan Agama

Ahli spiritual asal Cirebon, Sholeh--
RADARMAJALENGKA.COM-Dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, terdapat berbagai jenis upacara yang berkaitan dengan kepercayaan. Salah satu yang dianggap penting dalam kehidupan orang Jawa di masa lampau adalah ritual ruwatan. Ruwatan diyakini sebagai sarana pembebasan dan penyucian diri dari segala malapetaka dan kesialan hidup/sukerta. Mereka yang telah melakoni ruwatan dipercaya akan terbebas dari sukerta.
Meskipun tidak sebanyak dulu, ritual ruwatan masih dapat dijumpai di masyarakat hingga kini. Namun demikian, tidak sedikit yang mempertanyakan tentang makna, hakikat, dan relevansinya dalam kehidupan modern ini.
Dikatakan praktisi spiritual Sholeh yang ditemui di pinggiran Cirebon bahwa tradisi ruwatan sampai saat ini masih relevan karena merupakan sebuah produk jalan budaya. Relevansi dalam kehidupan kala kini dikaitkan dengan kenyataan bahwa manusia pada dasarnya menghadapi dua pilihan, yakni baik atau tidak baik.
“Ruwatan ini merupakan contoh kontemplatif untuk mengingatkan agar seseorang tidak terjerumus dalam perilaku yang tidak baik dan untuk selalu menjalankan hidup “Hamemayu Hayuning Bawana."
Lebih lanjut, ia menambahkan tradisi ruwatan masih tetap dilakukan dan dipelihara oleh masyarakat hingga kini karena dipercaya menjadi sarana komunikasi yang produktif. Ritual yang merupakan salah satu bentuk budaya spiritual dianggap sesuatu yang produktif oleh para pewarisnya karena selain dipercaya dapat menangkal petaka, mendekatkan pada sang pencipta, juga mampu membuat manusia lebih mengutamakan keluhuran budi daripada memburu kuasa dan harta.
BACA JUGA:Tak Kalah Misterius dengan Gunung Padang, Gunung Kromong Lumbung Fosil, Siapa yang Mendiaminya?
“Ruwatan sesungguhnya merupakan suatu usaha untuk membangun keselarasan dan komunikasi antarmanusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan alam. Usaha tersebut dipertajam melalui upaya-upaya serta perbuatan yang lebih menganakemaskan keutamaan budi,” jelasnya, Rabu (7/8).
Karut-marut situasi politik di tanah air saat ini ditengarai karena masih banyak politisi yang tidak menjalankan politiknya dengan etika. Mental para politisi yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok serta memaksakan kehendak seperti yang terjadi pasca Pemilu serentak 2019 menunjukan bahwa elit politik kita belum memiliki spiritualitas dalam berpolitik.
"Kalau kita cermati fakta sekarang, yang muncul ke permukaan dalam politik Indonesia hari ini adalah agama, padahal bukan agama yang penting dalam politik untuk membuat politik kita baik dan bermartabat tetapi spiritualitas yang menyangkut dimensi terdalam diri manusia yang menjadi sumber nilai dan etika bagi kehidupan, bahkan untuk menyucikan agama dan politik itu sendiri," katanya yang sehari-hari beraktivitas di bidang ruqyah.
BACA JUGA:Tak Kalah Misterius dengan Gunung Padang, Gunung Kromong Lumbung Fosil, Siapa yang Mendiaminya?
Menurut dia, dimensi agama bisa berbahaya bagi politik karena agama mudah dipolitisasi dan dieksploitasi termasuk untuk kepentingan-kepentingan yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur politik yaitu menyangkut kebaikan dan kesejahteraan bersama.
"Fakta saat ini memperlihatkan betapa agama dipakai secara sangat brutal untuk kepentingan politik. Karena itu bukan agama yang penting bagi politik tapi spiritualitas sebagai sumber inspirasi terdalam hidup manusia," jelas Sholeh.
Jika politisi memiliki spiritualitas dalam menjalankan misi politiknya kata Sholeh maka seharusnya wajah politik Indonesia saat ini adalah wajah politik yang bermartabat, tidak melibatkan kekerasan, tidak mengedepankan egoisme, tidak menghasut, dan tidak menebar ujaran-ujaran kebencian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: