Menimbang Polarisasi Dampak Pilkades

Menimbang Polarisasi Dampak Pilkades

--

JAKARTA, RADARMAJALENGKA.COM - Beramai ramai para kepala desa menyampaikan pendapat ke DPR beberapa waktu lalu, yang menghendaki perubahan terbatas khusus masa jabatan kepala desa pada Undang Undang No 6 tahun 2014 tentang desa.

Para kepala desa tersebut menghendaki perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun, dan dapat dipilih kembali hingga tiga periode secara berturu turut menjadi sembilan tahun, dan dapat dipilih kembali maksimal dua periode.

Atas aspirasi ini selintas terkesan para kepala desa hanya ingin berkuasa lebih lama. Padahal secara kuantitatif usulan itu sebenarnya hanya merubah mekanisme pemilihan dari enam tahun dapat dipilih tiga kali, menjadi sembilan tahun dibatasi dua kali. Jadi, tetap jumlah kumulatifnya delapan belas tahun. Tidak ada perbedaan.

Menangkap aspirasi ini sejak awal PDI Perjuangan mendukung sepenuhnya. Bahkan DPP PDI Perjuangan telah membentuk Tim Perumus Perubahan UU Desa yang terdiri dari para kepala daerah dan mantan kepala daerah.

BACA JUGA:UPDATE 8 Hari Lagi Target TOL CISUMDAWU Beroperasi, Rincian di Seksi 1 sampai dengan 6 yang Sudah Siap Belum

Fraksi PDI Perjuangan di DPR juga telah memerintahkan memasukkan agenda revisi UU Desa menjadi prolegnas prioritas di Badan Legislasi DPR pada tahun 2023 ini.

Mengapa PDI Perjuangan sangat serius ingin memperjuangkan aspirasi para kepala desa ini? Adakah urgensi filosofis, sosial-kultural dan ekonominya?

Dalam sejarah pemerintahan desa yang kita jalani selama ini, masa jabatan kepala desa diatur secara berubah ubah setiap kali ada perubahan tentang pemerintahan desa, tanpa ada dasar pertimbangan yang memadai.

PDI Perjuangan berkepentingan memberikan berbagai aspek strategis dalam menentukan masa jabatan kepala desa.

BACA JUGA:SUDAH MANTAP! Tol Cisumdawu Seksi 6 Siap Dilewati Kendaraan, Masuk dari Kertajati Majalengka

Pertama; aspek filosofisnya, PDI Perjuangan berpandangan bahwa untuk mewujudkan visi pembangunan desa yang nyata, kepala desa memerlukan masa kerja yang memadai.

Dengan masa kerja hanya enam tahun, dan harus mengikuti pilkades kembali dalam waktu tidak terlalu lama, akibatnya kepala desa harus berfikir kepentingan elektoral ketimbang visi pembangunan desa jangka panjang.

Praktik seperti ini kita rasakan dilevel lebih tinggi, baik di kabupaten/kota, provinsi hingga nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: