Desa Kuno Ini Asal Putri Brahmana Kuasai Ilmu Karma Amamadang, Ratu Ken Leluhur Raja-raja Jawa
Arca Ken Dedes yang ditemukan di dekat reruntuhan Candi Singasari pada 1818.( Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata)--
Mulai dari Panawiyan yang kemudian menjadi Panawijyan, atau Panawijen yang kemudian menjadi Polowijen. Nama Panawijyan diungkapkan akademisi Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) Ismail Lutfi.
Dalam tulisan Desa-desa Kuno di Malang Periode Abad Ke-9 Sampai 10 Masehi, Ismail menduga Polowijen adalah wanua i panawijyan. Yakni sebuah desa di satuan wilayah (watek) Kanuruhan. Nama Panawijyan tercantum dalam Prasasti Wurandungan 869 Saka.
Selain Panawijyan, terdapat penyebutan Panawijen yang tertulis di Kitab Pararaton. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa keberadaan Desa Panawijen sangat penting karena berada di perguruan (mandala) yang dipimpin pendeta Buddha bernama Mpu Purwa.
Sang pendeta memiliki putri cantik bernama Ken Dedes. Nama perempuan itu sangat dikenal dalam percaturan sejarah Kerajaan Tumapel dan Singasari. Terkait perubahan bunyi untuk menyebut Polowijen, Ismail menyatakan hal seperti itu sudah biasa terjadi.
Perubahan bunyi pada vokal dari ”a” menjadi ”o” disebabkan perubahan bunyi abjad (susunan aksara) yang digunakan dari abjad Jawa Kuna menuju Jawa Baru. Senada dengan Ismail, pengamat sejarah Kota Malang Suwardono juga menyatakan nama Panawijen diambil dari Prasasti Wurandungan dan Kitab Pararaton.
Dia mengatakan, konsonan ”n” mereduplikasi menjadi ”l”, sehingga disebut Polowijen. Dengan demikian, tidak ada arti khusus dari nama Panawijen. Sementara itu, versi murni Polowijen diungkapkan dalam buku Toponim Kota Malang. Buku itu menyebutkan bahwa Polowijen berasal dari kata PalaWijen.
Hal tersebut didasarkan atas penjelasan pada buku De Nuttige Planten Van Nederlandsch Indie (Deel IV) yang ditulis ahli botani Karel Heyne.
Namun, Pala-Wijen yang dimaksud bukanlah tumbuhan pala. Melainkan pohon wijen yang merupakan sumber minyak nabati atau minyak wijen. Tanaman itu bisa tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.200 mdpl.
Di Jawa, ada dua jenis wijen yang dibudidayakan. Yakni wijen hitam dan putih.
Versi yang sedikit berbeda dulu juga ada cerita romansa yang berkembang di Polowijen. Cerita itu terkait perempuan bernama Ndedes yang merupakan putri pemuka agama di Lok Bangle. Karena kecantikannya, sejumlah lelaki tertarik untuk meminangnya. Salah satunya adalah Joko Lola dari Dinoyo. Saat hari pernikahan, Joko Lola dan Ndedes diarak ke sebuah kali.
Namun, karena tidak mau menikahi Joko Lola, Ndedes menangis di tepi kali sehingga kali tersebut disebut Kali Mewek. Cerita serupa juga tercantum dalam Jejak-Jejak Arkeologis di Polowijen: Korelasinya dengan Naskah Kuna, Prasasti, dan Tradisi Tutur. Tapi, kisah yang dituturkan dalam tulisan ini sedikit berbeda.
Joko Lola disebut memiliki wajah yang buruk rupa. Namun, karena kesaktiannya yang tinggi, wajah buruk tersebut hanya terlihat jika pagi tiba. Karena merasa ada yang aneh dengan Joko Lola, Putri Ndedes minta dibuatkan sumur yang dalamnya mencapai 1 windu (8 tahun) perjalanan. Mengetahui permintaan itu, Joko Lola menyanggupinya.
Dia mampu membuat sumur dalam waktu singkat. Pernikahan antara Putri Ndedes dan Joko Lola pun disepakati. Namun, keluarga Joko Lola meminta agar pertemuan pengantin dilakukan tengah malam untuk menutupi wajah buruk Joko Lola.
Sayangnya, sebelum pertemuan berlangsung, para gadis Panawijen membunyikan tempat nasi dari anyaman bambu tanda pagi tiba. Bahkan, ayam-ayam juga mulai berkokok. Tak lama kemudian, tampak wajah Joko Lola yang buruk. Karena terkejut, Putri Ndedes kabur melalui sumur yang sudah dibuat.
Melihat Putri Ndedes yang kabur, Joko Lola mengumpat kepada para gadis Panawijen yang menyembunyikan wadah nasi. Dia mengutuk para gadis Panawijen tidak bisa menikah hingga usia lanjut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: