Ternyata Bung Karno Tidak Suka Peninggalan Daendels, Jalur Trem Kota Hindia Belanda Ini Dihancurkan
Hindia Belanda gunakan trem untuk transportasi Batavia--
Penyelenggara Asian Games di masa Soekarno mengakibatkan sebuah ledakan pembangunan dengan dibangunnya beberapa bangunan penting di kedua jalan tersebut.
Jalan Thamrin dan Sudirman oleh Soekarno dijadikan sebagai pintu gerbang Jakarta menggantikan Weltevreden (Rijswijk – Noordwijk) di masa Belanda.
Di kedua jalan ini, dibangun Hotel Indonesia berlantai 14, Jembatan Semanggi, Kompleks Olah Raga Senayan termasuk Gelora Bung Karno, yang kala itu merupakan stadion terbesar sejagat.
Tahun itu menjadi bukti pembangunan masjid terbesar di Asia (Istiqlal), jalan raya By Pass, sebuah planetarium, toko serba ada Sarinah, gedung Pola sekalipun harus membongkar kediamannya di Jl Proklamasi 56, tempat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan 17 Agustus 1945.
Soekarno juga membangun gedung pencakar langit tertinggi di Asia (kala itu) Wisma Nusantara berlantai 29. Di air mancur depan HI dibangun Patung Selamat Datang yang kini menjadi pusat kegiatan aksi dan demo serta Patung Pemuda di Senayan.
Sementara rencana membangun Soekarno Tower yang ambisius dan merupakan menara tertinggi di Ancol tidak terwujud. Soekarno keburu hengkang dan keadaan ekonomi tidak mendukungnya.
Trem bagi Bung Karno dianggap terlalu mengingatkan masa kejayaan Hindia Belanda. Dia menginginkan sebuah transportasi dalam tanah (metro) sebagai ganti trem. Seperti layaknya kereta-kereta bawah tanah di negeri maju. Bahkan, dia tidak memedulikan permintaan wali kota Sudiro agar jangan seluruhnya jaringan trem dibongkar.
Wali kota dari PNI ini minta dipertahankan jaringan Jatinegara – Senen yang padat penumpang. Sementara penggantinya, Gubernur Sumarno menyatakan siap membangun kereta bawah tanah dengan membongkar Stasiun Senen.
Namun ketika trem dihapuskan angkutan umum seperti bus dan oplet tidak dapat menampung penumpang yang makin memadati Ibu Kota. Trem Jakarta merupakan peninggalan Batavia Verkeer Maatchappij (BVM) yang pada 1954 menyerahkan seluruh asetnya pada Pemda DKI.
Jakarta pada masa demokrasi terpimpin adalah kota yang sibuk. Selain AG, setahun kemudian (1963) diselenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) guna menyaingi Komite Olimpiade Internasional.
Tamu-tamu asing, termasuk kepala pemerintahan terutama dari negara sosialis banyak berdatangan, dan Soekarno ingin membanggakan Jakarta sebagai kota perjaungan kekuatan NEFO (New Emerging Forces – kekuatan negara-negara anti-Nekolim).
Koningsplein (rakyat menyebutnya Lapangan Gambir) oleh Soekarno telah dirancang menjadi Monumen Nasional (Monas), sebuah tugu yang melambangkan perjuangan rakyat Indonesia dalam membebaskan diri dalam penjajahan.
Namun ketika Soekarno merancang Monas, lapangan yang luasnya 100 hektar ini dipenuhi berbagai lapangan dan bangunan.
Lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) yang pada tahun 1950-an menghasilkan pemain-pemain bola terkenal, dihancurkan. Untuk kemudian digantikan dengan Senayan.
Terdapat pula sebuah gedung pertemuan umum dan bioskop Deca Park yang juga harus disingkirkan. Di sini juga terdapat Gedung Pusat Telepon Gambir dan Press Club.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: