Rijklof van Goens Terkejut Menghadiri Jamuan Raja Jawa Ini, Seperti Apa Rasanya Makanan Tahun 1645?

Rijklof van Goens Terkejut Menghadiri Jamuan Raja Jawa Ini, Seperti Apa Rasanya Makanan Tahun 1645?

Makam Sunan Tegalarum (Amangkurat I) ca. 1915--

RADARMAJALENGKA.COM-Para raja Jawa berkuasa dalam balutan mitologi yang menempatkan diri mereka sebagai poros semesta. Hal ini melebar ke setiap aspek, salah satunya kuliner. Santapan raja bukan hanya sebagai suguhan, namun sebuah ritus para kawula (rakyat) meraih berkah sang raja.

Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebut ideologi konsentris raja Surakarta dan Yogyakarta menempatkan kerajaan sebagai pusat dunia dan raja adalah sang penjaga keselarasan.

Hidup selasar seorang kawula, jelas Lombard adalah hidup dalam kehendak raja. Melalui ideologi ini, raja lantas berkuasa atas setiap jengkal tanah kerajaannya. Seperti inilah relasi kuasa berlapis-lapis yang memakmurkan raja.

Demi melanggengkan kekuasaannya, raja memainkan “kompetisi kesetian” di antara para bangsawan dan pengikutnya. Mereka yang bersetia kepada raja dimanjakan dengan pembagian tanah lungguh atau tanah jabatan. 

Para pemegang tanah lungguh itu, tidak ubahnya seperti raja-raja kecil, memungut pajak dan upeti dari petani yang menggarap tanah lungguhnya. Tiap pemegang tanah lungguh punya ratusan bekel atau pemungut pajak yang memastikan petani membayar.B

"Bekel bangsawan pemegang tanah lungguh menyerahkan sebagian hasil pemungutannya kepada majikannya. Agar dianggap setia, para bangsawan pemegang lungguh memberi berbagai hadiah kepada raja,” kata sejarawan Sri Margana yang dimuat dalam buku Tradisi Kuliner Mataram yang diterbitkan Litbang Kompas.

Kemakmuran itulah yang menyangga seluruh peradaban dan kebudayaan istana para raja Jawa, termasuk ragam kulinernya. Utusan VOC, Rijklof van Goens, pernah terperangah ketika menghadiri perjamuan tahunan raja Amangkurat I pada tahun 1656.

Van Goens melihat meja raja yang penuh daging, ayam, ikan, dan sayuran yang dibakar, digoreng, hingga dikukus. Semuanya adalah persembahan para bupati yang datang membawa juru masak sendiri untuk menghidangkan makanan khas daerahnya di meja raja.

Makanan disajikan melimpah di atas tikar, dialasi daun pisang sepanjang dua kaki dan selebar satu kaki sebagai ganti taplak.

Makanan mereka seperti makanan kita, bergaram. Ada yang dipanggang, dirempahi, digoreng. Namun mereka hanya menggunaan minyak sebagai ganti mentega.

Jamuan mereka seringkali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang.

BACA JUGA:Dibudidayakan di Yogya dan Surabaya, Mungil Berukuran 5-6 Inci Berbentuk Mirip Penis, Pengen Coba ?

Dari catatan Van Goens itu, dapat sedikit terbayang penyajian masakan pada masa lalu. Duta VOC di Batavia itu beberapa kali mengunjungi Keraton Mataram ketika Amangkurat I (1645-1677) berkuasa.

Sayang, penjelasannya kurang detail, sehingga masih sulit membayangkan rasa makanan itu, selain kalau masakan itu dirempahi. Epigraf asal Australia, Antoinette M. Barret Jones dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions, memperkirakan bumbu masakan pada zaman kuno, paling tidak di Jawa pada abad ke-10 M. Dia menyebut rasa masakannya berbeda dengan sekarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: