Arisan Bodong Online Rugi Miliaran di Kota Cirebon, Begini Penjelasan Praktisi Hukum

Arisan Bodong Online Rugi Miliaran di Kota Cirebon, Begini Penjelasan Praktisi Hukum

Tjandra Widyanta, S.H. / Praktisi Hukum-Alumni Taplai LEMHANNAS RI 2021--

RADARMAJALENGKA.COM-Sayang sekali, ‘hari gene’ masih banyak masyarakat yang cepat tergiur dan tergoda saat disuguhi penawaran investasi dengan keuntungan yang sangat tinggi dan tidak memiliki risiko, tanpa info lebih lanjut uangnya diputar atau diinvestasikan dimana. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu ciri utama investasi bodong, lho!

Investasi bodong terasa semakin meresahkan ketika kedok yang digunakan menjadi sangat beragam. Hal ini membuat masyarakat jadi lebih mudah tertipu. Ada yang berkedok pengumpulan dana ibadah haji, koperasi, properti, pasar uang, emas, hingga yang sedang nge-trend akhir-akhir ini: arisan.

Siapa sangka, arisan yang seharusnya menjadi momen menyenangkan, malah menimbulkan banyak kerugian. Seperti arisan online diduga bodong yang dikelola oleh seorang perempuan inisial CDS asal Kota Cirebon berdomisili di Kota Bandung.

Terdakwa sebagai pemilik (owner) arisan online menawarkan kepada masyarakat untuk bergabung membentuk group member di HP Terdakwa dan setiap peserta mengirimkan sejumlah uang kepada Terdakwa, sehingga setelah terkumpul dananya kemudian dilakukan pengundian untuk menentukan pemenangnya dan ternyata anggotanya terus bertambah.

Setelah anggota bertambah kemudian membuka program arisan jenis lain berupa ONE PAY, Titip Dana, dan Tabungan lebaran. Masing-masing korban telah menyerahkan sejumlah dana tertentu antara 10 juta sampai 45 juta. Ada yang melalui program arisan, one pay, titip dana atau tabungan lebaran, bahkan ada yang mengikuti semua program tersebut.

"Kasus tersebut teregister dengan nomer perkara 154/Pid.B/2023/PN Cbn di Pengadilan Negeri Cirebon. Kebetulan dalam agenda sidang pemeriksaan saksi pada perkara ini saya mengawal klien bernama Iha Zulaiha yang diperiksa sebagai saksi dalam sidang tersebut;" kata Tjandra saat ditemui di Pengadilan Negeri Kota Cirebon, Kamis (16/11).

Alasan Tjandra, Iha Zulaiha diperiksa sebagai saksi, selaku penasehat hukum dirinya tidak bisa mendampingi dalam proses persidangan secara langsung karena itu bukan tupoksi penasehat hukum saksi dalam persidangan tersebut. Tupoksi penasehat hukum dalam persidangan adalah mendampingi Terdakwa dalam setiap proses persidangan perkara pidana.

Lebih lanjut, ia menceritakan awal Iha Zulaiha dipanggil pihak Polres Ciko untuk diminta keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut

"Saya mendampingi saksi dari pembuatan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) didepan penyidik Reskrim Polres Ciko hingga berkas pemeriksaan telah sampai di Kejaksaan dan ditindak lanjuti oleh Bapak Sunarno, SH selaku JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang kemudian lanjut pemeriksaan saksi di persidangan," bebernya.

Dalam rangkaian proses pemeriksaan tersebut, kata Tjandra, Saksi Iha Zulaiha telah banyak mendapat bully dari korban-korban lainnya yang menganggap saksi Iha Zulaiha seolah ikut membantu terdakwa. Bahkan saksi Iha Zulaiha masih terus dibully saat hadir di Pengadilan Negeri Kota Cirebon dengan teriakan-teriakan yang kurang pantas dari salah seorang korban.

Dalam tahapan proses pemeriksaan di Polres Ciko sampai Kejaksaan, ungkap Tjandra, ada saja permintaan dari segelintir orang yang menginginkan saksi Iha Zulaiha agar supaya dinaikkan statusnya dari saksi menjadi tersangka karena dianggap turut serta melakukan tindak pidana penipuan.

"Syukurlah ternyata saksi Iha Zulaiha tidak terbukti turut serta melakukan tindak pidana dikarenakan Iha Zulaiha sendiri menjadi korban juga yang telah kehilangan uang puluhan juta bahkan sampai ditagih pinjol. Saya selaku Praktisi hukum sangat mengapresiasi kerja dari Bapak Marko selaku Penyidik di Reskrim Ciko dan Bapak Sunarno, SH selaku JPU (jaksa penuntut umum) yang telah menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sebagai penegak hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan sehingga status saksi Iha Zulaiha tetap sebagai saksi dalam perkara ini," paparnya.

Hal unik dan sedikit miris terdengar, kata Tjandra, saat berada di luar selesai sidang di PN Cirebon, yaitu sejumlah pertanyaan, “Apakah setelah Terdakwa divonis bersalah, korban dapat meminta uang kembali?”.

Menurut Tjandra, selaku praktisi hukum, setelah terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti telah melakukan suatu tindak pidana, korban dapat meminta ganti rugi terhadap terpidana melalui dua upaya alternatif, yaitu pertama, melalui gugatan perdata atas perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum permohonan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”

Selanjutnya Pasal 101 KUHAP menyebutkan ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang tidak diatur lain. Artinya pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan terpidana dapat mengajukan gugatan, bahkan setelah terdakwa diputuskan bersalah.

Pasal 101 KUHAP mengamanahkan bahwa pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan Terpidana dapat mengajukan gugatan, bahkan setelah terdakwa diputuskan bersalah. Kapan saja, pihak yang dirugikan dapat langsung mengajukan gugatan ganti kerugian yang nyata- nyata diderita yang dapat dinilai dengan uang (kerugian material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (kerugian immaterial).

Kedua, Melalui permohonan Restitusi kepada pengadilan atau melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana telah diatur sebagaimana Pasal 11 ayat (1).

Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon kepada Pengadilan secara langsung atau melalui LPSK. Permohonan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak Pemohon mengetahui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kemudian, Tjandra menambahkan korban mengajukan restitusi berhak memperoleh restitusi berupa: (Pasal 4 Perma 1/2022) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan, ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau! kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

Apabila permohonan Restitusi diajukan melalui LPSK, maka salinan penetapan pengadilan disampaikan kepada LPSK paling lambat 7 hari dihitung sejak penetapan diucapkan. (Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 14 ayat (9), dan Pasal 15 ayat (1) Perma 1/2022)

"Masyarakat harus waspada dan hati-hati sekaligus bijak dalam menghadapi tawaran-tawaran yang menggiurkan untuk memperoleh keuntungan besar dengan waktu yang cepat," pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: