Dianggap Pohon Suci, Orang Ini Pertama Bawa Tumbuhan Jati ke Tanah Jawa, Ditanam di Area Candi Hormati Shiwa

Dianggap Pohon Suci, Orang Ini Pertama Bawa Tumbuhan Jati ke Tanah Jawa, Ditanam di Area Candi Hormati Shiwa

Pohon jati besar (Tectona grandis) yang didorong oleh Gerakan Samin untuk dimanfaatkan penduduk Blora sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. (wikimedia commons) --

Kayu jati sebagai salah satu produk tanam paksa di samping kopi, gula, katun, dan nila digunakan VOC untuk membangun kapal dagang, kapal perang, dan untuk diperdagangkan ke dunia internasional.

“Sejak saat itulah Java teak muncul untuk menyebut kayu jati yang berasal dari Jawa yang terkenal sangat tinggi harganya dalam perdagangan internasional,” papar Purnawati.

VOC juga menggunakan kayu jati untuk memenuhi kebutuhan membangun gudang-gudang, galangan-galangan kapal serta bangunan-bangunan. Perlahan-lahan VOC mulai mengeksploitasi hutan jati, khususnya di Pulau Jawa.

Pulau Jawa memang menjadi daerah yang paling produktif bagi pertumbuhan pohon jati, khususnya Jawa bagian tengah dan timur.

Pohon jati tumbuh subur pada ketinggian 1 hingga 1.800 mdpl, di tanah yang berbatu, berkapur, serta beriklim kering dan panas.

Dijelaskan oleh Purnawati, hal ini berbeda dengan di Jawa Barat, persebaran pohon jati tidak dominan dikarenakan iklimnya yang cenderung basah dan sifat tanahnya yang tidak disukai oleh spesies Jati.

Pengetahuan orang Jawa tentang kayu jati relatif komplet, bahkan mampu menciptakan klasifikasi berlatar mutu. Ada kayu jati lengo atau jati malam yang dikenal keras, berat, halus jika diraba dan seperti mengandung minyak, kayu berwarna gelap, banyak bercak dan bergaris.

Kemudian ada jati sungu berwarna hitam, padat dan berat. Disusul kayu jati werut yang serat berombak. Ada juga kayu jati doreng yang keras, berkelir loreng hitam yang indah dan seperti menyala, Terakhir kayu jati kapur dianggap kurang kuat dan kurang awet.

Menjelang pergantian abad ke 19 sampai abad ke 20, pengetahuan lisan masyarakat Jawa mengenai arsitektur mulai dituliskan ke dalam naskah yang berjudul Kawruh Kalang dan Kawruh Griya.

Menurut Josef Prijotomo dalam Griya dan Omah, naskah tersebut lebih menjelaskan seluk beluk bagian bangunan, pengukuran, serta pengonstruksiannya dan petunjuk perencanaan bangunan.

Di dalam naskah ini memang tidak terdapat pembahasan mengani kayu jati secara spesifik. Namun, terdapat penjelasan rumah yang ideal bagi orang Jawa yang diibaratkan sebagai berteduh di bawah pohon.

“Makna kalimat tersebut bisa merujuk pada pohon jati yang memang pada kenyataannya banyak digunakan untuk membangun rumah ataupun bangunan lainnya,” tulis Prijotomo.

Pembicaraan lebih jelas mengenai kayu jati lebih spesifik terdapat dalam Serat Centhini yang menjelaskan tentang jenis-jenis, watak, serta pengaruhnya terhadap penghuni rumah atau bangunan lainnya.

Misalnya pohon jati bercabang tiga dinamai trajumas. Masyarakat percaya jenis pohon ini bisa mengundang rezeki. Karena itu biasanya dipakai untuk kerangka rumah bagian belakang yang berukuran besar, pengeret, blandar, molo dan sebagainya.

Sedangkan pohon bercabang lima disebut pendhawa. Tampaknya orang Jawa klasik terinspirasi ceria pewayangan. Pohon berwatak sangat kuat dan sentosa ini sering dimanfaatkan sebagai kerangka pendopo utama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: