Cuan Sudah Dikenal Abad ke-9, di Cirebon Uang Logam Terbuat dari Bahan Ini, Kitab Kutaramanawa Ungkap Nilainya
Uang Ma Masa Kerajaan Mataram Kuno. Foto: Koleksi Museum Bank Indonesia--
Artikel Risa Herdahita Putri, Mata Uang Zaman Kuno, yang dimuat dalam laman historia.id, mengatakan prasasti dari akhir abad 9 M hingga awal 10 M mengindikasikan mata uang perak dan emas jamak dipakai di tengah masyarakat ketika itu. Diduga jumlahnya masih sangat terbatas, mengingat nilai emas dan perak tentu berharga tinggi.
Di masa Kerajaan Mataram Kuno itu, merujuk publikasi BI Institute disebutkan, masyarakat saat itu telah mengenal bentuk uang Ma. Berbentuk bulat dengan bahan terbuat dari emas. Memiliki berat 2,4 gr dengan tebal 4 mm dan berdiameter 7,7 mm.
Desain sisi depan bergambar hiasan biji wijen dan sisi belakang beraksara huruf Dewanagari (Sansekerta) bertuliskan “Ta”. Contoh artefaknya kini jadi koleksi Museum Bank Indonesia. Sayangnya informasi hanya sebatas itu.
Tapi dari sumber lain, Pemukiman di Indonesia, Perspektif Arkeologi susunan Rr Trimurjani dkk (2006), satuan uang emas dan perak di masa itu disebut dengan istilah kati, suwarna, masa, dan kupang. Yang jika diperbandingkan maka 1 kati bernilai sama dengan 20 dharana atau 20 suwarna atau 20 tahil.
Berdasarkan Prasasti Jurungan 876 M, sebagai perbandingan harga kambing ialah 4 masa. Harga kain, misalnya, wdihan angsit yaitu 4 masa, dan wdihan kalyaga yaitu 5 masa. Adapun harga tanah, satuannya dihitung dengan istilah tampah.
Harga tanah seluas 1 tampah ialah 7 masa dan 12 kati. Namun 1 tampah sendiri ekuivalen dengan berapa luasan meter persegi, sejauh ini tidak diketahui.
Dari prasasti lain, harga seekor kerbau dewasa pada abad ke-10 ialah antara 9 hingga 10 masa.
Melengkapi deskripsi di atas, Putri menulis kati ialah setara dengan 754,667 gram, suwarna adalah 39,569 gram, masa adalah 2,473 gram, dan kupang adalah 0,618 gram.
Sedangkan satuan untuk uang perak, kati setara dengan 617,610 gram, dharana 38,601 gram, masa 2,412 gram, untuk kupang tidak diketahui.
Kembali merujuk Lombard, setelah lebih dari seribu tahun kepulauan di Nusantara menjadi salah satu kawasan penghasil emas terpenting di dunia, perlahan-lahan mulai terlihat mengalami kemerosotan produksi hingga akhirnya habis sama sekali.
Sumber-sumber emas di Jawa—tempat asal-muasal cincin-cincin emas yang sangat indah dari abad ke-9 hingga 10, juga tempat asal pertukangan emas di era Majapahit—setelah abad ke-15 tidak tercatat lagi beritanya.
Sumber-sumber di Sumatra, terutama dari daerah Minangkabau hingga berapa waktu masih bisa merangsang ekonomi Kesultanan Aceh, namun akhirnya juga habis pada akhir abad ke-17.
Tak aneh, memasuki periode Majapahit di akhir abad ke-13 hingga, mata uang berbahan emas sudah tidak ditemukan. Dari sumber BI Insititute dicatat era itu muncul uang “gobog”. Berbahan tembaga, berbentuk bulat dengan lubang di tengah. Lingkar diameter 46 mm, berat 24,5 gram, dan tebal 2 mm. Sisi bagian depan uang ini memiliki desain gambar berupa motif beragam yang mengambarkan kehidupan masyarakat masa itu. Sementara itu, sisi belakang memiliki motif kehidupan.
Bicara soal mata uang logam Cina yang tersohor dengan nama “kepeng”, Lombard mencatat sejak abad ke-12 uang ini memiliki peranan penting di Jawa. Tapi sumber lain, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II – Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi (1991), mencatat hingga pertengahan abad 13 M rupa-rupanya kepeng belum jadi mata uang dominan di Tanah Jawa.
Kesimpulan ini didasarkan pada tidak adanya sumber-sumber tertulis tentang hal itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: