Bukan Dolly, Ini Wisata Gang Majalengka, Satu Jam dari BIJB
--
Sebab, membangun pariwisata tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Masyarakat harus dilibatkan.
Dari sisi keunggulan obyek wisata, Kota Cirebon sepertinya agak sulit menonjolkan alam. Justru wisata alam kita ini agak tertinggal.
Kota berada tepi laut tapi sulit melihat pantai. Bahkan wisata pantai kita di bawah rata-rata nilainya. Alias tidak menarik.
Cenderung kumuh. Kecuali kita bisa membuat narasi yang hebat pantai-pantai kita. Atau membangun besar-besaran dengan wisata pantai yang modern. Tapi itu butuh anggaran yang besar pula.
Menonjolkan kuliner? Di tempat lain juga menjamur wisata kuliner. Biasanya wisata ini hanya ikutan. Jika ada daya tarik wisata, kuliner akan mengikuti.
Dan khusus wisata kuliner kita sudah sangat khas dan terkenal. Jamblang, empal, lengko, tahu gejrot, dan docang, sudah banyak yang tahu. Tinggal inovasinya saja.
Wisata belanja? Tak usah repot-repot. Sudah menjamur. Swasta sudah bergerak sendiri. Pemerintah tinggal mendukungnya saja. Bahkan banyaknya pusat perbelanjaan, Cirebon sering dijuluki Kota 1.000 Mal.
Lalu apa? Ternyata menurut saya, keunggulan Cirebon ini justru peninggalan masa lalunya. Merupakan “harta karun” yang tak ternilai harganya.
Sungguh terkenal dan monumental. Punya Wali, Sunan Gunung Jati. Pengaruhnya luar biasa dalam segala kehidupan masyarakatnya. Petilasan-petilasan masa lalu masih banyak kita jumpai sekarang ini.
Cirebon mempunyai banyak keraton. Yang tidak semua daerah memilikinya. Ini juga keunggulan masa lalu yang luar biasa!
Intinya, Kota Cirebon memiliki keunggulan peninggalan sejarah masa lalu. Nah, keunggulan inilah yang seharusnya kita “jual”. Sebagai tujuan wisata. Yang perlu segera dibangkitkan. Karena multiplier effect bisa terjadi akibat menghidupkan pariwisata masa lalu kita.
Lalu bagaimana “menghidupkan” masa lalu Cirebon yang gemilang ini sebagai unggulan wisata?
Ini yang harus dipetakan. Kita jangan terjebak hanya keraton-keraton saja. Yang lokasinya di tempat-tempat strategis.
Justru petilasan-petilasan di dalam gang-gang sempit itu yang harus dihidupkan. Keraton-keraton kita justru cukup menjadi penghubung. Baik lokasi maupun narasinya.
Karena petilasan-petilasan di gang-gang itu sangat terkait posisi dan narasi dengan keraton-keraton, wali dan para pendiri kota ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: