RADARMAJALENGKA.COM- Untuk menjaga keseimbang alam, raja sunda Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja melarang warganya menangkap ikan di aliran sungai Cicatih. Dari hulu di lereng gunung salak hingga ke wilayah Cibadak, jadi area suci atau larangan..
Kawasan ini kemudian dikenal dengan kabuyutan sanghyang tapak.
Prasasti Sanghyang Tapak merupakan peninggalan Kerajaan Sunda yang pernah berdiri di wilayah barat Pulau Jawa.
BACA JUGA:Keberadaannya Masih Misterius, Sisa Potongan Hiasan Atap Tersimpan, Adakah Candi di Parungjaya Majalengka?Prasasti Sanghyang Tapak terdiri dari dua prasasti, yaitu Sang Hyang Tapak I dan Sanghyang Tapak II yang dipahatkan pada empat batu alam mengandung pasir.
Saat ini prasasti Sanghyang Tapak I dan II disimpan di Museum Nasional dan diberi nomor inventaris D. 73; D. 96; D. 97; dan D. 98. Keempat batu bertulisan ini ditemukan di dua tempat yang berbeda.
Berdasarkan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1890 dan 1891, prasasti yang bernomor inventaris D. 73 ditemukan ditepi Sungai Cicatih, dekat stasiun kereta api Cibadak, Sukabumi.
Sedangkan menurut Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1897, 1898, dan 1899, prasasti yang bernomor inventaris D. 96; D. 97; dan D. 98 ditemukan di bukit Pangcalikan, Bantarmuncang, Sukabumi.
Prasasti bernomor inventaris D. 73, D. 96, dan D. 97 merupakan prasasti Sang Hyang Tapak I, dan yang bernomor inventaris D. 98 merupakan prasasti Sang Hyang Tapak II. Kedua prasasti tersebut memiliki angka tahun yang sama, yaitu 952 Śaka.
Isi prasasti Sanghyang Tapak I dan II saling berkaitan.
BACA JUGA:Perang Dunia I Jalur Rel Ini Tertunda, Tak Disangka Dulu Stasiun Kereta Api Ini Halte