Bupati Eman Suherman dan Revisi Sejarah Majalengka: Dari Mitos ke Fakta

Yoyo Darwayo--
Oleh: Yoyo Darwayo, S.Pd
Di masa lalu, Socrates dikenal sebagai pelopor perubahan cara berpikir umat manusia dari mitos menuju logos—akal sehat, nalar, dan bukti. Ia mengajarkan pentingnya mempertanyakan "kebenaran" yang telah mapan jika tidak didasari oleh rasionalitas. Kini, semangat serupa tampaknya hadir di Majalengka melalui sosok Bupati Eman Suherman—pemimpin daerah yang berani meninjau ulang sejarah daerahnya secara lebih ilmiah dan bertanggung jawab.
BACA JUGA:40 Mahasiswa D3 Keperawatan USKM Resmi Jalani Capping Day, Awali Komitmen Etika Profesi Keperawatan
Setiap tahun, polemik mengenai Hari Jadi Majalengka (HJM) mencuat, terutama menjelang peringatan resminya setiap tanggal 7 Juni. Tanggal ini merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) No. 05 Tahun 1980, yang menetapkan bahwa Majalengka lahir pada 7 Juni 1490. Berdasarkan itu, usia Kabupaten Majalengka pada tahun 2025 mencapai 535 tahun.
Namun, banyak pihak—termasuk sejarawan dan tokoh masyarakat—telah lama meragukan validitas tahun tersebut. Versi sejarah yang populer menyebutkan bahwa Majalengka berasal dari kisah Nyi Rambut Kasih, seorang tokoh legendaris yang dikisahkan menghilang bersama pohon maja setelah menolak memeluk Islam. Meski kisah ini menarik secara folklorik, secara historis justru menempatkan sosok Nyi Rambut Kasih dalam posisi yang kurang proporsional dan membuka celah interpretasi yang tidak berbasis fakta.
Kini, seiring perkembangan zaman dan meningkatnya literasi sejarah di kalangan masyarakat, narasi-narasi berbasis mitos mulai dipertanyakan. Penemuan arsip resmi Netherlands Indies No. 2 tertanggal 11 Februari 1840 menjadi titik balik penting. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa Kabupaten Majalengka merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Maja—yang menjadi penanda kuat bahwa Majalengka secara administratif baru terbentuk setelah tahun tersebut.
BACA JUGA:Menteri PKP Dorong Jurnalisme Kritis dan Konstruktif: Lomba Menulis
Menjawab kegelisahan masyarakat dan tuntutan sejarah yang lebih obyektif, Pemerintah Kabupaten Majalengka menginisiasi sebuah langkah penting. Di bawah kepemimpinan Bupati Eman Suherman, digelar seminar ilmiah yang menghadirkan sejarawan, akademisi, budayawan, seniman, serta tokoh masyarakat. Hasil diskusi dari forum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ditemukan bukti otentik yang mendukung klaim bahwa Majalengka berdiri pada tahun 1490. Bahkan, dalam berbagai peta kuno dan naskah sejarah sebelum tahun 1840, nama "Majalengka" tidak pernah disebut.
Salah satu naskah penting, Raja i Raja ing Bumi Nusantara karya Pangeran Wasekerta (Panembahan Cirebon) yang ditulis pada tahun 1682, hanya menyebut daerah seperti Rajagaluh, Talaga, dan Sindangkasih—tanpa menyebut Majalengka. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Majalengka sebagai entitas administratif baru muncul dan diakui setelah pertengahan abad ke-19.
Langkah Bupati Eman Suherman dalam mendorong penyesuaian tanggal Hari Jadi Majalengka berbasis bukti otentik adalah langkah monumental. Ini bukan hanya koreksi sejarah, tapi juga simbol keberanian intelektual seorang pemimpin daerah untuk membawa masyarakatnya keluar dari ketergantungan pada mitos dan menuju pemahaman sejarah yang lebih akurat dan terverifikasi.
BACA JUGA:Tol Semarang-Demak Seksi 1 Senilai Rp10,9 Triliun Target Selesai 2027, Cegah Rob dan Banjir Efektif
Namun penting untuk digarisbawahi, koreksi ini bukan berarti menghapus atau menafikan eksistensi peradaban lama di tanah Majalengka. Perubahan ini justru membuka ruang lebih luas untuk menggali warisan sejarah lain yang lebih kaya, lebih mendalam, dan lebih faktual. Peradaban Talaga Manggung, Galuh, dan Rajagaluh adalah bagian penting dari sejarah kawasan ini yang harus terus diteliti dan dirawat.
Langkah ini bukan hanya tentang tanggal, tetapi tentang cara berpikir. Bupati Eman Suherman, dengan ketegasannya, telah menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan—antara mitos yang mengikat dan sejarah yang mencerdaskan.
Seperti Socrates yang mengguncang fondasi pemikiran Yunani, Eman Suherman pun telah mengguncang kenyamanan sejarah lama Majalengka—bukan untuk merusak, tapi untuk membangun kembali di atas fondasi kebenaran yang lebih kokoh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: