Sosok Wiji Thukul Sebagai Penyair yang Membela dan Memperjuangkan Hak-Hak Kaum Buruh, Pekerja, dan Petani
![Sosok Wiji Thukul Sebagai Penyair yang Membela dan Memperjuangkan Hak-Hak Kaum Buruh, Pekerja, dan Petani](https://radarmajalengka.disway.id/upload/a91182d8c9bd7353a3b759c197bf47ab.jpg)
Wiji Thukul sebagai sosok yang selalu memperjuangkan dan membela hak-hak buruh di Indonesia. -Google Chrome - Tangkapan Layar-radarmajalengka.com
RADARMAJALENGKA.COM - Nama Wiji Thukul, sudah melanglang buana di dunia para buruh serta penyair ternama tanah air, pasalnya ia sebagai penyair dengan sangat lantang memperjuangkan suara dan hak-hak kaum buruh dan pekerja.
Wiji Thukul memiliki nama asli sebagai Wiji Widodo, lahir pada 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang. Ia sendiri lahir dari kalangan keluarga tukang becak. Wiji Thukul merupakan anak tertua dari tiga bersaudara, ia berhasil menamatkan SMP (1979), lalu masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawiitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat alias drop out (1982).
Lebih lanjut ia juga pernah menjadi tukang pelitur di salah satu usaha mebel yang ia dapatkan dari tawaran tetangganya, pada saat ia menjadi tukang pelitur inilah bakat penyair dan puisi Wiji Thukul mulai muncul, ia disebut sebagai Penyair Pelo oleh rekan-rekan buruh mebel seperjuangannya.
Puncaknya pada orde baru, nama Wiji Thukul mulai santer terdengar, bahkan nama ia seorang saja mampu membuat pemerintahan bergetar dan bergoyang, tak heran pula jika ia dijadikan sebagai target dari orang-orang yang akan diberangus oleh pihak yang membenci dirinya, catatan kelam yang menyertai hidupnya ini, sampai sekarang masih diperjuangkan di Indonesia, karena Wiji Thukul menjadi korban dari orang hilang, dan termasuk pelanggaran HAM berat di masa orde baru.
BACA JUGA:Kilas Balik Sejarah Awal Terciptanya Hari Buruh, dan Latarbelakang Sejarah Hari Buruh di Indonesia
Wiji Thukul memiliki nama asli Wiji Widodo, yang lahir dari kalangan keluarga sederhana dari tukang becak. Ia memiliki tekad yang kuat dalam menyuarakan apa yang perlu disuarakan, termasuk pada saat menyuarakan hak-hak kaum buruh dan pekerja serta petani di Indonesia.
Bakat menulis puisi Wiji Thukul dimulai sejak ia masih duduk di bangku SD, pada dunia teater ia mulai tertarik ketika di bangku SMP. Lewat seorang teman sekolah ia berhasil ikut sebuah kelompok teater yang bernamakan Teater Jagat (Jagalan Tengah). Bersama rekan Teater Jagat inilah ia juga mulai mencairkan dan mendeklamasikan puisi nya dalam bentuk selayaknya seorang pengamen yang diiringi alunan musik temannya. Ia pergi dari satu kampung ke kampung lain untuk ngamen puisi.
Wiji Thukul juga memiliki karir yang bersinar dalam dunia buletin dan media cetak, pasalnya puisi karangan beliau ini sudah banyak dimuat dan ditulis oleh media-media cetak seperti Suara Pembaharuan, Suara Merdeka, Pijar (UGM), Politik (UNAS), dan lain-lain. Bahkan ia juga pernah diundang menjadi salah seorang yang membacakan puisi di aula Kedutaan Besar Jerman pada Goethe Institut. Puisi beliau yang terkenal ialah seperti kumpulan Puisi Pelo, Darman dan lain-lain, pun dalam satu buku yang merupakan kumpulan dari karya puisi-puisi yang beliau tulis dalam buku yang berjudul Aku Ingin Jadi Peluru.
Tahun 1992, sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit, ia bergabung bersama masyarakat sekampungnya, di sekitar pabrik tekstil PT. Sariwarna Asli, untuk ikut menyuarakan dan memprotes pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil itu. Wiji Thukul juga turut bergabung dengan aksi perjuangan petani di Ngawi (1994), ia memimpin pemogokan buruh PT. Sritex (1995). Ia menyuarakan dengan lantang bahwa hak-hak petani dan buruh serta pekerja adalah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dibela dan diperjuangkan.
Setelah perjuangannya yang dengan lantang menyuarakan hak-hak petani dan pekerja hingga kaum buruh inilah, yang membuat Wiji Thukul menjadi target operasi dari sekelompok yang terorganisir mampu menghilangkan jejak para pembela aktivis HAM seperti Wiji Thukul, sudah peristiwa 27 Juli 1996, Wiji Thukul menjadi korban orang hilang, yang sampai sekarang saat ini keberadaannya tidak ada yang mengetahui, ia jadi salah satu korban dari Asap Hitam Politik Orde Baru. Namun kini nama Wiji Thukul masih melekat sebagai simbol perjuangan untuk menciptakan ketidakadilan, ingat hanya ada satu kata menurut Wiji Thukul, yakni Lawan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: