Sebenarnya Siapa Penggagas Merk Indomie, Benarkah Diciptakan Liem Sie Liong?
Ilustrasi Indomie goreng dengan nasi(tangkapan layar lakun Instagram @tigabelas) --
Cita-cita Salim mengubah makanan utama masyarakat dengan mi akhirnya gagal total. Semua yang sudah dilakukan, dari mulai membangun pabrik, berinvestasi, dan kerjasama, menjadi sia-sia. Dan semua itu tidak bisa dibatalkan, alias harus tetap berjalan.
Sadar bingung mendistribusikan miliaran bungkus mi instan, Salim lantas mendekati pesaingnya, yakni Djajadi, yang merupakan pemilik Indomie.
"Kalian konsumen [tepung] saya, kami punya kelebihan lini. Bisakah kalian melakukan sesuatu? Sebab saya tidak mau bersaing dengan kalian," tutur ulang Anthony Salim saat mendekati Indomie, dikutip dari riset Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Tawaran itu membuat Djajadi berada di posisi sulit. Dia tahu bahwa produksi Indomie bergantung pada Bogasari, tetapi dia juga tidak mau menerima tawaran itu. Alhasil, terjadilah penolakan oleh Djajadi, meski dia tahu menjadi pesaing Salim di Orde Baru bukan hal mudah.
Dari sinilah, Sarimi bertarung melawan Indomie. Dalam pertarungan ini, Salim berani mengeluarkan biaya fantastis hingga US$ 10 juta untuk memasarkan produk mi dengan harga di bawah Indomie.
Singkat cerita, strategi ini pada akhirnya membuat Indomie takluk. Sarimi sukses menguasai 40% pasar mi instan Indonesia. Berkat kesuksesan inilah, Salim percaya diri dan kembali menawarkan proposal kerjasama kepada Djajadi. Namun, kali ini Djajadi terpaksa harus mengakui kehebatan Salim.
Dia menyetujui tawaran tersebut dan sepakat membentuk perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna pada 1984. Di perusahaan itu Djajadi punya 57,5 % saham dan Salim 42,5% saham. CEO-nya pun masih orang dekat Djajadi, yakni Hendy Rusli.
Sebenarnya, apa yang terjadi antara Salim-Djajadi adalah strategi umum dari bisnis Grup Salim. Salim sering melakukan pengelolaan bersama dengan mitra bisnis dalam suatu grup usaha. Menurut Yuri Sato dalam Chinese Business Enterprise (1996), tujuan Salim melakukan ini untuk mencari keahlian teknis dari mitra-mitra tersebut di bidangnya masing-masing dan mencari dukungan finansial.
Dalam kasus PT Indofood Interna, strategi ini berjalan lancar. Bahkan, perusahaan patungan ini sukses menguasai pasar dan mampu mengakuisisi merek kompetitor, yakni Supermi besutan PT Lima Satu Sankyu. Namun, seiring waktu terjadi perubahan pengelolaan di tubuh perusahaan.
Masih mengutip paparan Richard Borsuk dan Nancy Chng, perlahan tapi pasti kontrol PT Indofood Interna bergeser dari Djajadi ke Salim Group hingga menguasai seluruh perusahaan. Pada titik ini, Djajadi terpaksa angkat kaki.
"Karena mereka bertikai sendiri dan akhirnya kami mendapatkan mayoritas... Ada lima atau enam orang dalam kemitraan mereka dan mereka tidak akur... Bola jatuh berserakan dan kami memungut keping-kepingannya," tutur Anthony Salim saat ditanya Richard Borsuk soal perubahan kelola PT Indofood Interna.
Sejak itu, Salim menguasai Indomie dan memasukkannya ke dalam induk perusahaan PT Indofood Sukses Makmur pada 1994. Ketika itu terjadi tak ada perlawanan dari Djajadi. Dia diam seribu bahasa menyikapi peristiwa itu.
Dan ini menjadi kewajaran sebab Salim dekat dengan Presiden Soeharto. Jadi, tidak ada gunanya mengeluh dan protes atas kejadian itu, sehingga lebih baik diam untuk terhindar dampak lanjutan.
Barulah setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Djajadi mulai buka suara dan berani melawan balik Salim yang ketika itu bisnisnya 'berdarah-darah'. Genderang perang pun dimulai.
Dalam laporan Wall Street Journal (2 Februari 1999), Djajadi mengaku terpaksa menjual perusahaannya beserta 11 mereknya, termasuk Indomie dan Chiki, kepada PT Indofood Interna Corp. dengan harga yang sangat murah pada tahun 1986. Seluruhnya dijual dengan harga hanya Rp 30.000.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: