Sebenarnya Siapa Penggagas Merk Indomie, Benarkah Diciptakan Liem Sie Liong?
Ilustrasi Indomie goreng dengan nasi(tangkapan layar lakun Instagram @tigabelas) --
Dalam paparan majalah Historia dituliskan PT Lima Satu Sankyu adalah perusahaan hasil kerjasama perusahaan Jepang, Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha dengan PT Lima Satu milik Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis.
Kerjasama ini berbentuk teknis hingga bantuan pengiriman tepung dari luar negeri.
Barulah dua tahun kemudian tepat pada 1970, Sarimi mendapat lawan baru, yakni Indomie. Indomie adalah merek mi instan produksi PT Sanmaru Food.
Dalam paparan Arto Biantoro Memahami Kekuatan Nama Merek & Cara Menemukannya (2023) diketahui PT Sanmaru Food didirikan oleh Djajadi Djaja, Wagyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma, serta berada di bawah jaringan Grup Djangkar Djati.
Grup ini didirikan oleh Djajadi Djaja, pengusaha asal Medan, pada 1964 yang kemudian juga ikut mendistribusikan Indomie lewat PT Wicaksana Overseas.
Persaingan bisnis mi awalnya berjalan biasa saja hingga akhirnya muncul pendatang baru, yakni Sarimi pada awal 1980-an.
Sarimi didirikan oleh Sudono Salim lewat PT Sarimi Asli Jaya. Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), alasan Salim terjun ke industri mi berkaitan dengan kelangkaan beras di Indonesia pada akhir 1970-an.
Semua orang tahu beras adalah makanan yang tidak bisa tergantikan oleh masyarakat Indonesia. Pada saat krisis beras sudah pasti pemerintah dan swasta berputar otak untuk mencari pengganti beras.
Kebetulan ketika itu industri tepung di Indonesia berjalan positif usai berdiri pabrik tepung pertama di Indonesia, yaitu PT Bogasari, yang juga didirikan oleh Salim, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono.
Keempatnya juga dikenal sebagai Gang of Four, persekutuan para pengusaha di era awal Orde Baru.
Pada titik inilah, Salim ingin memproduksi mi dengan tujuan mengganti beras sebagai makanan pokok masyarakat.
Keinginan ini lantas disetujui oleh pemerintah sebagaimana dituturkan Piet Yap dalam memoarnya My Grains of My Life (2010). Pemerintah secara terang-terangan mendorong Grup Salim untuk mengkampanyekan kelebihan mi dan roti kepada masyarakat.
Dari sini, Salim rupanya cukup serius soal produksi mi. Mengutip paparan Richard Borsuk dan Nancy Chng, Salim rela memesan 20 lini produksi dari pemasok Jepang. Setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mi instan.
Artinya, ada miliaran bungkus mi yang diproduksi Grup Salim. Atas dasar ini, Salim cukup percaya diri menyaingi Supermie dan Indomie.
Namun, rasa percaya diri itu sirna ketika situasi berubah di pertengahan 1980-an. Tanpa diduga, stok beras Indonesia kembali membaik, bahkan di tahun 1984 sudah bisa swasembada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: