Pemilu 2024, Rawan Kecurangan Pemilu Tinggi
RAWAN KECURANGAN: Diskusi potensi kecurangan pemilu bersama akademisi Unma, PWI dan Bawaslu dalam Rapat Dalam Kantor (RDK).-PAI SUAPRDI-Radarmajalengka.com
MAJALENGKA, RADARMAJALENGKA.COM - Peran partisipasi publik dalam pengawasan Pemilu 2024 sangat diperlukan untuk menjamin pelaksanaan yang luber dan jurdil. Pasalnya masih banyak celah dan peluang yang bisa memicu persoalan dalam Pemilu 2024.
Hal itu diungkapkan Akademisi Universitas Majalengka (Unma) Indra Sudrajat saat diskusi bersama PWI dan Bawaslu dalam Rapat Dalam Kantor (RDK), terkait pengawasan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih serta publikasi hasil pengawasan Bawaslu.
Sejumlah persoalan sebenarnya sudah mulai muncul di saat pencocokkan dan penelitian (coklit) data pemilih, yang seharusnya dilakukan secara random atau acak, oleh Panwas Kelurahan/Desa (PKD). Namun kebanyakan sebut dia pola pengawasan coklit biasanya sudah dipersiapkan.
Sejumlah kendala saat coklit tersebut di antaranya mulai dari penyusunan DPS, DPSHP, DPT dan potensi persoalan akan muncul di ujung dan akan lebih tinggi. Pasalnya kata dia, karena DPT disahkan secara bertingkat, baik di tingkat kabupaten, dan provinsi sehingga di tingkat nasional akan menjadi masalah.
BACA JUGA:Sah Jadi Bank Terbaik! Bank Mandiri Sabet Gelar Best Bank in Indonesia di 2023 versi Euromoney
Selain itu, Indra juga mempersoalkan terkait data pemilu yang masih sulit diakses, salah satunya adalah data Sistem Informasi pencalonan (Silon). “Di mana pengawas tidak bisa akses Silon. Dan itu problem tersendiri pada pemilu,” katanya, Selasa (25/7).
Oleh karena itu kata Indra, PKD harus diberi pengetahuan yang cukup, termasuk para petugas Pengawas TPS (PTPS) yang harus mengawasi pelaksanaan pemilu terutama DPTB. Karena potensi kecurangan di situ juga cukup rawan, apalagi di setiap TPS tidak ada alat khusus yang bisa mengecek keaslian KTP seseorang.
Sehingga caranya adalah dengan pengawasan melekat, melalui peran partisipatif dan metode pengawasan serta tindak lanjut hasil pengawasan diperkuat.
Kalau dirinci tentunya banyak problem yang harus diatasi di antaranya minimnya rasa keingintahuan masyarakat untuk melihat dan memeriksa DPT, hal ini sejalan dengan tingkat pendidikan di Majalengka berdasarkan hasil data BPS tahun 2022 yang hanya 6,09 tahun atau setara SLTP.
Serta rendahnya kesadaran dari tokoh masyarakat maupun stakeholder akibat masih rendahnya kesadaran politik rakyat yang masih belum tumbuh.
“Persoalan lainnya adalah keterbatasan petugas pengawas, baik ditingkat Kabupaten , kecamatan dan desa. Sehingga salah satu alternatif yang paling tepat adalah membangun kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi, termasuk para insan pers dalam hal ini PWI,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: