Musim Tanam di Majalengka dan Indramayu Serentak, Petani Khawatir Rebutan Air

Musim Tanam di Majalengka dan Indramayu Serentak, Petani Khawatir Rebutan Air

MAJALENGKA – Memasuki musim penghujan yang juga bertepatan dengan musim tanam serentak membuat petani khawatir sejumlah persoalan yang mungkin terjadi beberapa bulan ke depan. Selain persoalan air, buruh tani juga menjadi persoalan yang mesti dipikirkan sebelum tanam. Mereka berharap tidak ada aksi rebutan air pada musim tanam hujan ini. Petani di Desa Pangkalanpari Kecamatan Jatitujuh, Wahyono mengatakan, ada sejumlah persoalan yang masih dikhawatirkan petani. Salah satu persoalannya yakni kemungkinan adanya rebutan air, karena musim tanam dilakukan secara serentak. “Kami khawatir persediaan air tidak mencukupi,” keluhnya, Kamis (9/1). Tanam serentak itu terjadi karena kurangnya persediaan air pada awal musim penghujan ini. Tidak heran masih banyak wilayah menunggu datangnya pasokan air stabil agar bisa memulai tanam kembali. “Sampai akhir Desember pasokan air masih belum mencukupi. Kami khawatir seperti yang sudah-sudah rebutan air dari Bendungan Rentang dengan petani di Indramayu,” ungkapnya. Dia khawatir jika dipaksakan maka ancaman gagal tanam melanda sawah petani. Jika gagal tentunya akan membuat pusing petani di wilayahnya, terlebih pada musim kemarin banyak sawah di wilayah barat dinyatakan puso. Dia tak ingin kejadian serupa terjadi kembali pada musim tanam kali ini. Untuk itu, diharapkan pemerintah turun tangan supaya para petani tidak berebut air dan mematuhi jadwal penggunaan air sesuai golongan masing-masing. Minimnya ketersediaan air membuat petani di wilayahnya menerapkan sistem persemaian kering. Teknik tersebut terpaksa dilakukan agar awal tanam tidak begitu bergeser jauh dari jadwal semula. Wahyono mengatakan, tanam padi akan mulai dilakukan jika pasokan air dari irigasi sudah normal. Potensi rebutan air memang bisa saja terjadi karena tanam dilakukan serentak. Seperti pada musim tanam kemarin banyak lahan melaksanakan tanam secara serentak. Selain persoalan air, petani juga dipusingkan oleh ketersediaan buruh yang minim. Pada musim tanam serentak biasanya jasa buruh tani sangat dibutuhkan oleh para pemilik lahan. Tak ayal permintaan jasa yang banyak tak seimbang dengan jumlah buruh yang ada. Hal itu membuat upah buruh tani naik tipis. “Misalnya biasa dibayar Rp1,3 juta per hektare menjadi Rp1,5 juta,” jelasnya. (ono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: