Hidup di Tahun Penuh Bahaya, Megawati Jadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka

Senin 07-08-2023,09:06 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

RADARMAJALENGKA.COM-  Hari itu adalah Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-19 tahun 1964 adalah momen istimewa bagi Megawati Soekarnoputri. 

Ia mengemban tugas sebagai salah satu Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Istimewanya, bendera Merah Putih yang dikibarkan adalah jahitan tangan ibunya, Fatmawati.

BACA JUGA:Jakarta Dilanda Krisis, Bendera Pertama Dijahit dengan Mesin Singer Digerakkan Tangan Saat Ibu Fat Hamil

"Saya pun sebetulnya Purna-(Paskibraka) juga. Karena saya pernah menjadi seperti kalian. Pembawa bendera pusaka. saya waktu itu Alhamdulillah (bendera pusaka) masih asli. Saya yang membawa,” cerita Megawati saat memberikan pengarahan kepada Purna-Paskibraka Duta Pancasila di Istana Merdeka, Rabu, 18 Agustus 2021.

Tak kalah istimewa dari kehadiran Paskibraka Megawati dan bendera pusaka yang dijahit ibunya. Bung Karno, ayah dari  wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri ini, tampil berpidato dengan berjudul Tahun Vivere Pericoloso di perayaan kemerdekaan RI ke-19 tahun 1964. 

Apalagi, Bung Karno kala itu menjadi orang Indonesia pertama yang mempopulerkan istilah Vivere Pericoloso. Istilah itu diambilnya dari bahasa Italia: Vivere yang berarti hidup. Sedang Pericoloso artinya berbahaya. Dalam artian, hidup di tahun penuh bahaya.

BACA JUGA:Kerajaan Ini Ajak 40 Negara Bahas Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina, Putin Tidak Hadir

“Tiada Revolusi dapat benar-benar bergelora, kalau Rakyatnya tidak menjalankan Revolusi itu dengan anggapan Romantik.

Tiada Revolusi dapat mempertahankan jiwanya, jikalau Rakyatnya tidak bisa menerima serangan musuh sebagai romantiknya Revolusi, dan menangkis serangan musuh dan menghantam hancur-lebur kepada musuh itu sebagai romantiknya Revolusi.

Tiada Revolusi dapat tetap bertegak kepala, jikalau Rakyatnya tidak sedia menjalankan korbanan-korbanan yang perlu, dengan tegak kepala pula, bahkan dengan mulut bersenyum, karena menganggap korbanan-korbanan itu romantiknya Revolusi,” Bung Karno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1964.

BACA JUGA:Video-Foto Ledakan Bom Hiroshima, Alat Rekam di Ketinggian 9.144 Meter Kamera Tak Berawak Jarak 731 Meter

Pidato itu kemudian membuat banyak orang berdecak kagum dengan Bung Karno, ketika menjelang akhir pidatonya membakar semangat rakyat Indonesia melawan imperialisme dengan meneriakkan “Ini dadaku, mana dadamu!” (*)

Kategori :