ABCD: Metode Kemitraan Universitas-Masyarakat
Oleh: Dian Widiantari Dosen IAI Bunga Bangsa Cirebon “Bagai Menara Gading Nan Jauh Disana”. Sebuah metafora jika kampus berkembang menjadi menara yang sulit ditembus realitas sosial. Kampus akan semakin sulit berkontribusi pada masyarakat sesuai dengan salah satu tugasnya pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi tanggung jawab semua elemen. Bukan hanya dosen, tapi juga mahasiswa dan civitas akademika lainnya pun menjadi bagian pengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kekhawatiran ini bukan sebatas halusinasi. Melainkan sudah menjadi fakta sosial. Civitas akademik (dosen dan mahasiswa) sebagai pengemban tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi belum secara maksimal menjalankan tugasnya melakukan pengabdian kepada masyarakat. Secara realitas, dosen selalu disibukkan dengan rutininas mengajar, mempersiapkan adminitrasi pembelajaran, kesibukan side job (mengajar di tempat lain, berwirausaha, mengisi pengajian, dan aktivitas lainnya sebagai penambah rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup). Ditambah dengan tuntutan kebijakan yang menghendaki kehadiran secara fisik walau belum tentu produktif. Tidak ada kebijakan yang jelas terkait pelaksanaan, bentuk dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang harus dilakukan oleh dosen, terutama dosen di lingkungan PTKIS. Pelaporan pengabdian kepada masyarakat pun bisa jadi hanya formalitas saja dan dijadikan sebagai ajang perolehan cummulative credit point dalam pengisian BKD. Hal ini mesti menjadi alasan mereka belum bisa berkontribusi maksimal pada masyarakat dimana dia berada. Tidak dipungkiri memang, kondisi tersebut mungkin dialami oleh dosen PTKIS. Hanya mungkin juga di antara mereka telah melaksanakan tugas pengabdiannya secara maksimal. Profesi dosen bukan hanya sebatas menjalankan proses pendidikan dan melakukan penelitian tanpa action pendampingan suatu community. Pendampingan dengan bersama-sama menggerakan masyarakat untuk berbuat dengan kesadarannya dalam membangun tujuan bersama, menjadi salah satu tugas civitas akademik untuk mendobrak menara gading sehingga dapat berkontribusi pada realitas sosial. Program kampus yang monoton dan belum menginspirasi dengan mahasiswa hanya aktif di unit kegiatan mahasiswa (UKM), tidak cukup sebagai implementasi pengabdian kepada masyarakat. Tidak menutup kemungkinan semangat kepedulian dan kedermawanan yang sebenarnya selalu tumbuh di kalangan mahasiswa belum tersalurkan dengan baik karena program kemahasiswaan belum berorientasi pada sosial inovatif. Hal ini terjadi karena kampus masih terjebak oleh rutinitas proses pembelajaran di kelas sehingga program pengabdian belum dijabarkan secara serius dalam desain kurikulum kampus. Termasuk desain kegiatan pengabdian mahasiswa di masyarakat belum berorientasi pada sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Para mahasiswa belum secara maksimal menggerakkan masyarakat secara alamiah sesuai dengan impian. Hal ini terbukti jika kuliah pengabdian selesai maka kegiatanpun tidak dilanjutkan oleh masyarakat. Civitas akademika dan masyarakat harus menjadi dua sisi mata uang yang simbiosis mutualisme. Keduanya dapat hidup bersama saling menguntungkan satu sama lain, saling membutuhkan untuk dapat bertahan bersama. Civitas akademika yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna harus dapat memanfaatkannya dengan bersinergi bersama-sama dengan potensi yang telah dimiliki masyarakat untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga keberadaan kampus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas yang berada di lingkungan kampus berkontribusi sebagai sumber belajar tak terbatas dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Masyarakat sebagai sumber belajar memberi pengalaman belajar yang lebih bermakna dan mendorong pada nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat sehingga dapat membangun kesadaran akan pentingnya lingkungan sosial yang harmonis. Melatih komitmen untuk menciptakan gagasan penanganan realitas social yang inovatif terstimulasi dan termotivasi oleh kehidupan masyarakat. Terminologi pengabdian kepada masyarakat mengalami pergeseran kebutuhan. Bukan sebatas pengadian yang berorientasi pada masalah yang ada di masyarakat. Melainkan universitas berdampingan bersama masyarakat untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Terminologi tersebut dikenal Asset Based Community Development (ABCD). ABCD sebagai sebuah metodologi Kemitraan Universitas – Masyarakat menjadi solusi penguhi menara gading untuk turun gunung. Tugasnya tidak melulu berkutat pada keilmuan di dalam kaca. Melainkan bagaimana keilmuan tersebut terimplementasi untuk bersinergi dengan realitas sosial yang ada di lingkungan kampus dan lingkungan tempat civitas akademika domisili. ABCD merupakan model pendekatan dalam pengembangan masyarakat yang menghendaki pada inventarisasi aset yang terdapat di masyarakat yang dipandang mendukung pada kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pendampingan dengan menggunakan ABCD fokus pada kekuatan dan aset yang dimiliki masyarakat, bukan berfokus pada masalah dan kebutuhan. Bermitra dengan masyarakat, universitas dapat melakukan pendampingan melalui langkah-langkah ABCD secara sistematis. Discovery dengan merumuskan kekuatan dan aset yang dimiliki masyarakat, kemudian dream bersama menyusun tujuan komunitas yang ingin dicapai, design dengan merancang bersama kegiatan yang dapat dilakukan berdasarkan kekuatan dan asset yang dimiliki, define dengan menentukan pilihan fokus pembahasan, dan destiny mengimplementasikan berbagai hal yang sudah dirumuskan pada tahap define dan design. Kemitraan universitas–masyarakat melahirkan pola relasi sosial yang dibutuhkan kondisi saat ini. Proses relasi sosial universitas–masyarakat menstimulasi dan membentuk nilai komitmen untuk bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan bersama, komitmen menciptakan gagasan-gagasan inovatif untuk kepentingan bersama, dan komitmen untuk mendobrak tatanan ketidakadilan sosial. Setiap civitas akademika dan masyarakat memiliki potensi berbeda yang dapat disumbangkan untuk membangun tujuan bersama. Pengetahuan, kecerdasan rasa, keterampilan (skill) menjadi kekuatan dan aset yang dimiliki civitas akademika dan masyarakat sebagai modal kontribusi. Nobody has nothing menjadi penyemangat sivitas akademika dan masyarakat untuk berkontribusi bersama membangun bangsa. Dengan kemitraan menciptakan nilai-nilai sosial yang guyub antara universitas dan masyarakat. Resdesign kurikulum Tri Dharma Perguruan Tinggi terkait pengabdian kepada masyarakat menjadi urgen untuk dilakukan. Perguruan Tinggi dipandang perlu menetapkan kebijakan pelaksanaan pengabdian bukan sebatas pemenuhan kredit poin untuk kepangkatan melainkan memposisikan sama pentingnya dengan pendidikan dan penelitian walau memiliki porsi berbeda serta memberi peluang kepada dosen untuk dapat berkiprah bersama masyarakat. Kebijakan tentang orientasi kuliah pengabdian masyarakat perlu ditinjau kembali dengan men-design kuliah pengabdian berbasis pada kekuatan dan aset. Dosen perlu refleksi kembali mindset–nya dengan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi yang diembannya. Tugas pengabdian bukan sebatas mengisi waktu luang ketika tidak ada jadwal mengajar di kampus melainkan harus diluangkan sesuai dengan porsi kebutuhan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan kemahasiswaan perlu direlevansikan dengan realitas social yang ada di masyarakat sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyararakat. (*/opl)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: