
RADARMAJALENGKA.COM- Para raja Jawa berkuasa dalam balutan mitologi yang menempatkan diri mereka sebagai poros semesta. Hal ini melebar ke setiap aspek, salah satunya kuliner. Santapan raja bukan hanya sebagai suguhan, namun sebuah ritus para kawula (rakyat) meraih berkah sang raja.
Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebut ideologi konsentris raja Surakarta dan Yogyakarta menempatkan kerajaan sebagai pusat dunia dan raja adalah sang penjaga keselarasan.
Hidup selasar seorang kawula, jelas Lombard adalah hidup dalam kehendak raja. Melalui ideologi ini, raja lantas berkuasa atas setiap jengkal tanah kerajaannya. Seperti inilah relasi kuasa berlapis-lapis yang memakmurkan raja.
Demi melanggengkan kekuasaannya, raja memainkan “kompetisi kesetian” di antara para bangsawan dan pengikutnya. Mereka yang bersetia kepada raja dimanjakan dengan pembagian tanah lungguh atau tanah jabatan.
Para pemegang tanah lungguh itu, tidak ubahnya seperti raja-raja kecil, memungut pajak dan upeti dari petani yang menggarap tanah lungguhnya. Tiap pemegang tanah lungguh punya ratusan bekel atau pemungut pajak yang memastikan petani membayar. B
"Bekel bangsawan pemegang tanah lungguh menyerahkan sebagian hasil pemungutannya kepada majikannya. Agar dianggap setia, para bangsawan pemegang lungguh memberi berbagai hadiah kepada raja,” kata sejarawan Sri Margana yang dimuat dalam buku Tradisi Kuliner Mataram yang diterbitkan Litbang Kompas .
Kemakmuran itulah yang menyangga seluruh peradaban dan kebudayaan istana para raja Jawa, termasuk ragam kulinernya. Utusan VOC, Rijklof van Goens, pernah terperangah ketika menghadiri perjamuan tahunan raja Amangkurat I pada tahun 1656.
Van Goens melihat meja raja yang penuh daging, ayam, ikan, dan sayuran yang dibakar, digoreng, hingga dikukus. Semuanya adalah persembahan para bupati yang datang membawa juru masak sendiri untuk menghidangkan makanan khas daerahnya di meja raja.
Makanan disajikan melimpah di atas tikar, dialasi daun pisang sepanjang dua kaki dan selebar satu kaki sebagai ganti taplak.
Makanan mereka seperti makanan kita, bergaram. Ada yang dipanggang, dirempahi, digoreng. Namun mereka hanya menggunaan minyak sebagai ganti mentega.
Jamuan mereka seringkali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang.
BACA JUGA:Dibudidayakan di Yogya dan Surabaya, Mungil Berukuran 5-6 Inci Berbentuk Mirip Penis, Pengen Coba ?
Dari catatan Van Goens itu, dapat sedikit terbayang penyajian masakan pada masa lalu. Duta VOC di Batavia itu beberapa kali mengunjungi Keraton Mataram ketika Amangkurat I (1645-1677) berkuasa.
Sayang, penjelasannya kurang detail, sehingga masih sulit membayangkan rasa makanan itu, selain kalau masakan itu dirempahi. Epigraf asal Australia, Antoinette M. Barret Jones dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions , memperkirakan bumbu masakan pada zaman kuno, paling tidak di Jawa pada abad ke-10 M. Dia menyebut rasa masakannya berbeda dengan sekarang.
Beberapa bahan masakan baru dikenal masyarakat Nusantara setelah orang Eropa menemukan Benua Amerika. Misalnya cabai, nanas, sawo, jagung, papaya, markisa, srikaya, jambu batu, dan singkong.
BACA JUGA:Harta Karun Perairan Cirebon, dari Five Dynasty Abad 9, Luwu Ijo hingga Putera Sunan Gunung Jati Terbunuh Bumbu Jawa yang kini populer baru kemudian diimpor. Jintan misalnya, tumbuh di Timur Tengah. Kuma-kuma ( saffron ) dibawa dari wilayah Mediterania. Ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania. Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an. Sementara itu, laos merupakan tanaman asli Jawa. Penjelajah Italia, Marco Polo pernah mencatat tanaman ini diproduksi di Jawa sekira abad ke-13 M. Adapun jahe dan bawang disebut sebagai produk yang diperjualbelikan di desa. BACA JUGA:Ramalan Eyang Haji Aji Putih, Jatigede Jadi Sahara, Ujungjaya Berubah Nagara “Kita dapat memperkirakan makanan pada abad 10 M mungkin saja dibumbui dengan jahe, kunyit, kapulaga, dan laos, juga merica,” tulis Antoinette. Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, meski terkenal sebagai negeri rempah dan terbiasa merempahi makanannya, rupanya tak banyak orang Eropa dan Tiongkok yang protes akan rasanya. Pada masa itu tidak pernah ada yang mengemukakan bahwa makanan di Asia Tenggara terlalu banyak bumbu, pedas, atau terlalu banyak memakai rempah. BACA JUGA:Siapa Sesungguhnya Penguasa Laut Selatan, Cek Lokasi di Sumatera Utara, Aceh, Flores, Maluku dan Jawa “Mungkin karena kedua bangsa pemakan daging ini, yang ingin menyembunyikan rasa daging lama mereka, ketika itu juga sudah terbiasa dengan rasa rempah dalam makanan Asia Tenggara,” tulis Reid. Aneka ragam tanaman juga sohor di pasar-pasar Asia Tenggara, seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, calamus. Semuanya digunakan sebagai bahan penyedap makanan dan obat-obatan. “Bahan makanan yang masih digunakan sampai saat ini, misalnya gula aren, minyak, beras, asem, dan terasi, bagi Jawa merupakan komoditas ekspor,” tulis Reid. BACA JUGA:Ingin Gelar Pernikahan Undang Pertunjukan Ini, Jika Tidak Mitosnya Berakibat Buruk, Mistisnya Gembyung Bagi mereka yang berada di kawasan Asia Tenggara, terasi dan kunyit merupakan bahan makanan pedas paling umum hingga diperkenalkannya cabai dari Amerika selatan pada pengujung abad ke-16. Berdasarkan laporan orang Belanda pada 1596 cabai telah tumbuh di beberapa bagian Jawa. Bahkan, gubernur Belanda di Banten menggunakannya sebagai pengganti lada ketika lada langka. “Lada hitam kendati dijual di mana-mana tak begitu penting artinya dalam makanan orang Asia Tenggara,” tulis Reid. BACA JUGA:Intip 2 Foto Lawas Masa Revolusi Kemerdekaan, Militer Belanda ke Majalengka Kemudian terasi yang sejak dulu bahan makanan ini dinilai sebagai penyempurna makanan. “Tidak sempurna makan nasi tanpa ikan, dan terutama terasi yang kaya protein dari ikan,” catat Reid. Terasi bagi orang Melayu disebut belacan. Orang Thailand menyebutnya kapi. Di Burma, terasi disebut nga-pee, di Vietnam nuoc mam. Terasi menjadi makanan kegemaran orang Asia Tenggara. Hingga kini sulit mendapatkan sumber yang menjabarkan resep masakan masa kuno. (*)