Dalam era digital ini, fotografi telah menjadi lebih dari sekadar menangkap momen. Ia telah menjadi medan perang yang menghubungkan antara keindahan sakral dengan kekuatan viralitas.
Di tengah-tengah arus informasi yang terus mengalir, fotografi berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sakral dan yang viral.
Di satu sisi, fotografi memiliki kekuatan untuk merayakan yang sakral. Melalui lensa mereka, para fotografer mengabadikan keindahan alam, arsitektur megah, dan momen-momen keagamaan yang memukau.
Dalam setiap klik, mereka menangkap esensi spiritualitas dan keagungan yang menginspirasi pengamatnya untuk merenung dan mengagumi kebesaran alam semesta.
Namun, di sisi lain, fotografi juga memiliki daya tarik viral yang mampu mengubah paradigma secara global dalam sekejap. Sebuah foto yang tepat dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial, menciptakan gelombang perubahan sosial, atau bahkan menjadi simbol perlawanan.
Kekuatan viralitas ini memungkinkan pesan-pesan penting untuk menembus batas-batas budaya dan geografis, membawa kesadaran akan isu-isu kritis dan menginspirasi tindakan nyata.
“Pada era sebelumnya fotografi hanya bisa dikases atau dimiliki oleh kalangan masyarakat dengan ekonomi yang berada diatas rata-rata, hal ini disebabkan karena mahalanya harga kamera dan juga solenoid atau film serta biaya yang harus dikeluarkan dalam memproses hasil dari foto tersebut”.(Agung et al., n.d.).
Panyaweuyan pun telah dijadikan sebagai ladang pencaharian baru bagi anak muda, mereka sekarang telah membuat aturan dengan ticketing untuk melewati area panyaweuyan, beberapa diantara mereka beralih profesi menjadi pedagang.