RADARMAJALENGKA.COM- Naskah Babad Cirebon merupakan salah satu sumber penting untuk memahami sejarah dan budaya Cirebon.
Buku ini juga memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat Cirebon pada masa lampau dan menjadi salah satu sumber referensi dan warisan adiluhung Kesultanan Cirebon yang memberikan gambaran dan penjelasan tentang perkembangan Islam di Nusantara.
Demikian diungkapkan in telektual Muda Nahdlatul Ulama dan peneliti Manuskrip Nusantara KH. Ahmad Baso yang ditayangkan oleh akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Senin, (27/3).
“Naskah ini bisa menjadi warisan adiluhung Kesultanan Cirebon yang meninggalkan warisan kepada kita satu khazanah sumber otentik dalam historiografi islamisasi Islam nusantara,” jelas Ahmad Baso. Ahmad Baso menjelaskan, naskah Babad Cirebon ini termasuk salah satu karya ulama Nusantara yang tidak hanya terkenal di nusantara, tapi karya ini mampu mewarnai dunia intelektual lintas negara, terbukti banyak tersebar di luar negeri. “Ada ratusan naskah Cirebon tersebar di berbagai perpustakaan dunia, di London, Leiden, Jakarta, Jerman, Paris. Dan salah satu yang terkenal itu adalah Babad Cirebon,” ungkap Ahmad Baso. Lebih lanjut, ia menambahkan naskah Babad Cirebon ini yang terbit dalam banyak versi. Namun dalam penjabarannya beliau memetakan pada empat versi yang paling dominan. Pertama, naskah otentik dari Babad Cirebon langsung dari Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon, yang merupakan teks dari Maulanan Hasanuddin Banten. “Babad Cirebon yang otentik, lansung dari Sultan Gunung Jati, yang merupakan teks riwayat putra beliau Syekh Maulana Hasanudin Banten. Ini asli karena disebut di sini sanadnya atau periwayatan Maulana Hasanudin sampai ke pemilik terakhir naskah ini yakni Tubagus Muhammad Shaleh tahun 1712-an,” urainya. Kedua, naskah Babad Cirebon yang periwayatannya melewati Keraton Kasepuhan Cirebon, yakni Kepada Pangeran Suryanegara pada tahun 1800-an. “Ada juga yang turun dari Sunan Gunung Jati tapi lewat Keraton Cirebon, Keraton Kasepuhan, ada stu riwayat dari Sunan Gunung Jati jalurnya lewat pangeran Suryanegara tahun 1800-an, itu yang merupakan babad cirebon yang versi besar sampai 3 jilid, itu ada 1000 halaman lebih,” jelas Ahmad Baso. Ketiga, naskah Babad Cirebon yang bercerita tentang Ibu dan kakak Sunan Gunung Jati, yang mana isinya sudah tidak murni dan sudah tercampur dengan kisah hikmah dan mitos. ”Ada juga Babad Cirebon yang versi ketiga ini yang berbicara khusus tentang ibunya kanjeng Sunan Gunung Jati, Nyi Rarasanta dan juga Kakaknya yang bernama pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang, dibuat naskah tersendiri cerita tentang itu”, lanjut Ahmad Baso Ahmad Baso menilai, dalam naskah Babad Cirebon versi ketiga ini isinya sudah banyak di sisipi tentang mitos, berbeda dengan naskah Babad Cirebon versi pertama dan kedua, sehingga keasliannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. “banyak juga sih disisipkan mitos-mitos disitu, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan secara historis.” Keempat, versi naskah Babad Cirebon yang berisi petikan-petikan sejarah Sunan Gunung Jati dan para Wali Songo. “Versi keempat berisi khusus petikan-petikan dari sejarah kehidupan dari sunan gunung jati dan interaksinya dengan para wali, dan juga ada tambahannya sampai ke masa kesultanan Cirebon didatangi oleh VOC di abad 17,” papar Ahmad Baso. Kemudian Ahmad Baso menimbang dari empat versi naskah Babad Cirebon, bahwa naskah paling otentik adalah naskah versi pertama dan kedua, yang merupakan naskah yang bisa dipertanggung jawabkan. “Jadi yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara historis adalah versi pertama dan yang kedua ini, karena itu bisa di verifikasi berdasarkan bukti-bukti historis maupun dengan intertektualitasnya atau dengan dialognya dengan naskah-naskah lain,” ungkapnya. Lebih lanjut dijelaskan kiai muda ini, Babad Cirebon, menjadi salah satu buku yang penting dalam literatur sejarah Indonesia, dan dapat memberikan wawasan yang berharga bagi siapa saja yang ingin memahami sejarah Cirebon dan Jawa Barat pada umumnya, lebih spesifiknya agar para pembaca tidak terjebak dengan kutipan belanda dan kutipan yang hanya berisikan mitos belaka. “Memang buku ini cuma 200 halaman, tapi memberikan bukti otentik tentang kehadiran naskah berkaitan dengan sumber-sumber historiografi. Ini penting supaya kita tidak terjebak kepada kutipan dari Belanda, dan kutipan-kutipan yang isinya mitos-mitos itu,” pungkasnya. (*)