Agar tidak terdeteksi selama penyamarannya, ternyata Tan Malaka memiliki 23 nama samaran. Beberapa di antaranya nama samarannya adalah Alicio Riviera, Hasan Ghozali, Ossorio, dan Tan Ming Sion.
Ada lagi namasamaran lainnya. Seperti On Song Lee, Tan Ho Seng, Ramli Husein, dan Ilyas Husein.
Ada sosok yang mengenakan Tan Malaka ketika kembali ke Indonesia. Dia adalah Achmad Subarjo.
Dia memang teman baik Tan Malaka di Belanda. Dan Achmad Subarjo adalah orang pertama yang memanggilnya kembali dengan nama aslinya.
“Ganjil benar bunyi nama itu di telinga saya sesudah semenjak lebih dari 20 tahun tak pernah lagi nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari,” kata Tan Malaka.
Pernyataannya itu diungkapkan dalam buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia 1” karya Harry A Poeze. Harry A Poeze, adalah seorang sejarawan Belanda yang meneliti tentang Tan Malaka selama 40 tahun.
Keberadaan Tan Malaka di Indonesia terendus pada 3 November 1945. Seorang perwira dinas intelijen AS melapor ke Washington bahwa Tan Malaka telah mendarat di Jawa 1,6 bulan menjelang kapitulasi Jepang.
“Ia masih tetap bersembunyi, tapi sekarang ia ada di Jawa Timur,” tulis laporan itu.
Koran “Merdeka” pun mendapat informasi serupa namun kurang akurat. Pada edisi 9 November 1945 koran itu menulis artikel “Tan Malaka di Jawa”.
Koran itu menulis Tan Malaka sedang berada di Surabaya dan bersama para pemuda sedang bertempur melawan pasukan Sekutu. Sosok Tan Malaka itu berdiri di atas panggung dan berorasi. Pidatonya bahkan tersiar melalui stasiun radio lokal.
BACA JUGA:Belajar Pemanggilan Roh Halus, Ternyata Ketua BPUPKI Adalah Anggota Freemason
Tan Malaka tentu saja kaget karena saat itu dia belum berada di Surabaya. Dalam buku otobiografinya “Dari Penjara ke Penjara” Tan mengaku mengetahui bahwa selama ini banyak Tan Malaka palsu.
“Amat gembira mendengar bahwa saya mempunyai banyak ‘anak’, juga sedang bertempur di Surabaya. Segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya,” tulis Tan Malaka dalam bukunya.
Ketika Tan Malaka asli sampai di Surabaya, dia justru ditahan para aktivis. Untunglah Yohan, seorang tokoh pemuda Surabaya yang kebetulan pulang dari Jakarta, mengenali Tan Malaka dan membebaskannya.
Sebelum peristiwa penangkapan di Surabaya, kabarnya Tan Malaka sempat berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Dia bertemu dan berdiskusi panjang lebar dengan KH Hasyim Asy’ari, kakek dari Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Gus Dur sendiri pernah menceritakan kisah pertemuannya dengan Tan Malaka yang ia sebut sebagai “paman petani”. Saat itu Tan memang sering bertemu dengan ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim.