Ingin Gelar Pernikahan Undang Pertunjukan Ini, Jika Tidak Mitosnya Berakibat Buruk, Mistisnya Gembyung

Sabtu 19-08-2023,09:53 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

RADARMAJALENGKA.COM- Gembyung berasal dari dua suku kata, yaitu ‘gem’ dan ‘byung’. Maknanya, ‘gem’ adalah “ageman” berarti ajaran, pedoman, atau paham yang dianut oleh manusia, dan ‘byung’ bermakna “kabiruyungan” yang artinya kepastian untuk dilaksanakan.

Sehingga kesenian ini memiliki nilai-nilai keteladanan untuk dijadikan pedoman hidup.

BACA JUGA:Tanpa Tiang Kolom, Asalnya Rumus Matematika, Masjid Raya Ini Dibangun di Atas Embung 25 Hektar

Seni musik tradisional ini pertama kali berkembang pada masa penyebaran agama Islam.

Kala itu, gembyung dimainkan para santri yang dibimbing sesepuh pesantren dengan menggunakan waditra (alat musik) utama, yaitu terbang (sejenis rebana) sebagai pengiring lagu yang bernuansa sakral.

Pertunjukan seni tersebut secara lengkap terdiri atas waditra, pangrawit (pemain alat musik), juru kawih (vokal), penari, dan busana. 

Kini di beberapa wilayah di Jabar, kesenian ini bervariasi. Seperti variasi waditra tampak dari penambahan alat musik, diantaranya tarompet, kecrék, kendang, dan gong.

BACA JUGA:Bukan Hanya Binatang Raksasa Purba dan Sunan Gunung Jati, Desa Baribis Punya Ciri-Ciri Khusus

Dari segi judul lagu pun bervariasi, Seni Gembyung Cirebon dan Tasikmalaya banyak menggunakan judul lagu berbahasa Arab, seperti Assalamualaikum, Barjanji, Yar Bismillah, Salawat Nabi, dan Salawat Badar.

Sedangkan di Subang dan Sumedang, banyak mengambil judul lagu berbahasa daerah (Sunda), seperti Raja Sirai, Siuh, Rincik Manik, Éngko, Benjang, Malong dan Geboy.

Kemudian jumlah Pangrawit pun bervariasi dan disesuaikan dengan jumlah alat musik yang digunakan. Begitu pula dengan penari, di beberapa daerah seperti Cirebon telah dipengaruhi seni tarling. Sementara di daerah lainnya terpengaruh tari jaipongan, ketuk tilu, dan sebagainya.

BACA JUGA:Keberadaannya Masih Misterius, Sisa Potongan Hiasan Atap Tersimpan, Adakah Candi di Parungjaya Majalengka?

Variasi lainnya dapat terlihat pada busana yang dikenakan para pemain. Di Cirebon dan Tasikmalaya memakai busana yang biasa dipakai untuk ibadah shalat, seperti kopeah (peci), baju kampret atau kemeja putih, dan kain sarung.

Berbeda dengan di Subang, Sumedang, Ciamis, dan Garut yang mengenakan busana tradisional Sunda, yakni iket, kampret, dan celana pangsi.

Dalam pertunjukannya, ada juru kawih Gembyung yang biasanya seorang laki-laki sambil memainkan rebana.

Tags :
Kategori :

Terkait