MENCIPTAKAN KELAS SUPORTIF SEBAGAI SOLUSI FUNDAMENTAL MENGATASI BULLYING

MENCIPTAKAN KELAS SUPORTIF SEBAGAI SOLUSI FUNDAMENTAL MENGATASI BULLYING

Aay Farihah Hesya, M.Pd.I-Dok-Istimewa

Oleh: Aay Farihah Hesya, M.Pd.I

Dosen Psikologi Pendidikan Islam STAI PUI Majalengka

Fenomena bullying di sekolah kembali menjadi sorotan publik. Hampir setiap bulan, Indonesia diguncang oleh kasus perundungan yang melibatkan anak dan remaja, baik dalam bentuk fisik, verbal, relasional, maupun digital. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sekolah merupakan salah satu lokasi paling rawan terjadinya kekerasan terhadap anak. Dari ratusan hingga ribuan laporan yang masuk setiap tahun, mayoritas berasal dari lingkungan pendidikan formal—baik antar siswa maupun dari oknum dewasa di sekolah. Fakta ini menunjukkan bahwa bullying bukan sekadar masalah individual, tetapi masalah sistemik yang mencerminkan keadaan ekosistem pendidikan kita.

Alih-alih terjebak dalam perdebatan tentang siapa yang harus disalahkan—guru, orangtua, sekolah, atau negara—penulis mengajak para pendidik melakukan refleksi mendalam. Apakah mungkin ada bagian dari proses pendidikan kita yang selama ini keliru? Apakah mungkin cara kita memandang siswa turut membentuk karakter mereka—yang kemudian melahirkan pelaku bullying yang minim empati, atau korban yang tidak berdaya dan tidak percaya diri? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, karena sejatinya anak tidak terbentuk dalam ruang hampa; mereka dibentuk oleh rumah, pergaulan, media digital, budaya sekolah, dan yang terpenting: iklim kelas yang mereka tempati setiap hari.

 

Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa iklim kelas adalah salah satu faktor paling kuat dalam mencegah bullying. Studi “School Climate and Peer Victimization” (2021) menyimpulkan bahwa sekolah dengan budaya suportif memiliki tingkat bullying hingga 30–60% lebih rendah, dan siswa menunjukkan kesejahteraan sosial-emosional yang lebih baik. Meta-analisis lain dalam Journal of School Psychology (2021) menegaskan bahwa kelas suportif adalah prediktor paling signifikan dalam menurunkan perilaku agresif dan meningkatkan perilaku prososial, bahkan lebih efektif dibanding hukuman atau sosialisasi anti-bullying sesekali. Dengan kata lain, solusi bullying bukan sekadar kampanye, tetapi transformasi budaya kelas.

Dalam perspektif Psikologi Pendidikan Islam, pendidikan bukan semata transfer ilmu, tetapi proses tazkiyah dan ta’dib—menyucikan jiwa dan membentuk akhlak. Al-Qur’an menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya’: 107), dan rahmat inilah yang seharusnya menjadi fondasi interaksi guru dengan siswa. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengingatkan bahwa pendidik ideal memperlakukan murid sebagaimana orangtua memperlakukan anaknya: penuh kasih, tanpa keras hati, dan tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat menundukkan. Ibnu Khaldun juga menegaskan bahwa kekerasan dalam pendidikan akan “mematahkan jiwa”, melahirkan generasi yang penakut, rendah diri, dan kurang empati. Prinsip-prinsip ini selaras dengan temuan psikologi modern yang menekankan bahwa hubungan emosional guru–siswa memiliki dampak langsung pada perilaku sosial siswa.

kelas suportif berangkat dari keyakinan bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia. Tidak semua anak datang ke sekolah dengan “tangki kasih yang penuh”. Sebagian membawa luka, trauma, rasa takut, rasa rendah diri, atau pengalaman negatif dari rumah. Ketika guru hanya fokus pada akademik, kita berisiko menghasilkan siswa yang unggul nilai tetapi miskin empati; atau siswa yang rajin namun tak mampu membela diri; atau siswa berprestasi tetapi tak bisa bekerja sama. Karena itu, guru perlu mendefinisikan ulang esensi pendidikan: bahwa tugas utama kita bukan hanya mengajar, tetapi mengasihi.

Dasar dari kelas suportif adalah cara pandang guru. Penerimaan tanpa syarat—konsep unconditional positive regard yang dikembangkan Carl Rogers—merupakan pondasi penting. Guru yang memandang siswanya dengan kasih sayang dan empati cenderung lebih sabar, lebih lembut dalam merespons, lebih adil dalam mengambil keputusan, dan lebih mampu membaca konteks di balik setiap perilaku. Dukungan emosional guru terbukti menurunkan angka bullying dan meningkatkan perilaku prososial, karena ketika siswa merasa aman secara emosional, mereka cenderung memperlakukan temannya dengan lebih empati.

Selain itu, ekspektasi positif guru berperan besar membentuk perilaku siswa. Penelitian pendidikan menunjukkan bahwa guru yang percaya pada potensi siswa akan melahirkan siswa yang lebih percaya diri, lebih berani mencoba, dan lebih kecil kemungkinan terlibat dalam perilaku agresif. Ekspektasi positif menciptakan efek Pygmalion: ketika guru percaya siswa mampu, siswa menjadi mampu.

kelas suportif juga dibangun melalui norma sosial yang dibentuk bersama. Ketika siswa terlibat dalam proses menetapkan aturan kelas, mereka merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menaatinya. Norma yang disepakati bersama—seperti saling menghormati, tidak mengejek, mendengar teman bicara, dan menyelesaikan konflik dengan dialog—menurunkan kecenderungan terjadinya bullying secara signifikan. Kelas semacam ini tidak hanya mengatur perilaku, tetapi membentuk budaya.

Salah satu ciri penting kelas suportif adalah budaya kepedulian kolektif. bullying tumbuh subur di lingkungan yang individualistik, di mana setiap anak hanya memikirkan dirinya sendiri. Dalam konsep ukhuwah dan ta’awun, Islam mengajarkan nilai saling menolong dalam kebaikan (QS. Al-Maidah: 2). Guru dapat menanamkan budaya ini melalui pembiasaan-pembiasaan kecil seperti saling menawarkan bantuan, mendampingi teman yang baru atau pemalu, hingga membentuk kelompok dukungan antarsiswa. Ketika budaya peduli mengakar, siswa tidak akan diam ketika melihat ketidakadilan. Mereka belajar menyayangi sebelum menghakimi.

kelas suportif juga mengurangi kompetisi dan memperluas kolaborasi. Lingkungan yang terlalu kompetitif sering menciptakan perbandingan sosial, gengsi, dan rendah diri. Sebaliknya, pembelajaran kolaboratif—seperti jigsaw, peer tutoring, project-based learning, dan tugas kelompok—menumbuhkan rasa memiliki dan saling membantu. Siswa yang belajar bekerja sama melihat teman sebagai mitra, bukan saingan. Mereka sadar bahwa keberhasilan yang paling bermakna adalah ketika mereka mampu mensukseskan orang lain. Sebagaimana hadis Nabi SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Perayaan pencapaian juga menjadi elemen penting kelas suportif. Tepuk tangan ketika teman berhasil, ucapan selamat kecil, atau “kartu apresiasi” sederhana dapat meningkatkan harga diri dan motivasi siswa. Dalam psikologi positif, penghargaan kecil semacam ini bekerja sebagai positive reinforcement yang memperkuat perilaku baik dan mengurangi kecenderungan agresi.

Namun dari semua elemen tersebut, peran keteladanan guru adalah yang paling utama. Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat dibanding apa yang mereka dengar. Ketika guru merendahkan siswa, itu akan ditiru. Ketika guru marah dengan bijak, itu juga akan ditiru. Guru yang mampu mengelola emosi, menghormati martabat setiap anak, menyelesaikan konflik dengan adil, dan berkomunikasi secara asertif, akan melahirkan kelas yang memantulkan nilai-nilai itu.

Pada akhirnya, kelas suportif tidak dapat berdiri sendiri tanpa sistem dukungan yang melibatkan sekolah dan orangtua. Laporan yang aman, intervensi cepat, dan komunikasi dengan keluarga harus berjalan beriringan agar budaya suportif terbentuk secara sistemik, bukan sporadis.

Dalam tradisi Pendidikan Islam, guru disebut murabbi—pendidik yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi membimbing jiwa. Seorang anak membutuhkan kasih, perhatian, dan penghargaan sama besar dengan kebutuhan mereka akan pengetahuan. Pesan Ali bin Abi Thalib RA sangat relevan dalam konteks ini: “Didiklah anak-anakmu berbeda dari cara kamu dididik, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda.”

bullying tidak akan hilang hanya dengan hukuman atau kampanye sesaat. Untuk menghapusnya secara fundamental, kita harus memulai dari kelas—ruang kecil yang menjadi tempat anak belajar tentang dunia dan tentang dirinya. Ketika kelas menjadi ruang yang aman, hangat, suportif, dan penuh cinta, maka sekolah akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional, kaya empati, dan berakhlak mulia. Dan pada titik inilah pendidikan menemukan makna sejatinya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: