RADARMAJALENGKA.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut berencana memanggil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pada Selasa, 5 September.
Mantan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) pada 2012 itu bakal dipanggil terkait dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI).
"Kami berharap siapapun yang dipanggil oleh KPK itu hadir sesuai surat panggilan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Senin (4/9/2023).
Ali mengatakan, KPK pun telah mengirimkan surat panggilan terhadap Cak Imin sejak beberapa hari lalu. Keterangan bakal calon wakil presiden 2024 ini dibutuhkan untuk mengusut kasus korupsi di Kemenaker.
"Semua saksi yang dipanggil besok hari Selasa itu pasti kami pastikan sudah diberikan surat panggilan sebelumnya," ujar Ali.
Namun, peluang pemanggilan Cak Imin ini memang sudah disampaikan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur.
“Semua pejabat di tempus (waktu) itu dimungkinkan kita minta keterangan,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur kepada wartawan ke gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 1 September.
“Kenapa? Karena kita harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya jangan sampai ada secara pihak si A menuduh si B, si C menuduh si B lalu si B tidak kita mintai keterangan kan itu janggal,” sambungnya.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur mengungkapkan, kasus rasuah itu diduga terjadi tahun 2012. Diketahui, Cak Imin pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Tenaga Kerja (Menaker) sejak 22 Oktober 2009 hingga 1 Oktober 2014. Posisi itu dia emban saat tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebelumnya, KPK mengatakan ada tiga tersangka yang ditetapkan dalam kasus korupsi di Kemnaker ini. Meski belum disampaikan KPK, Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker I Nyoman Darmanta dikabarkan turut terlibat.
Adapun nilai proyek pengadaan sistem informasi yang diduga menjadi bancakan para pelaku mencapai sekitar Rp20 miliar. Wakil Ketua Alexander Marwata menyebut sistem ini diduga dikorupsi hingga akhirnya tak bisa digunakan untuk mengawasi TKI.
“Yang bisa komputer saja untuk mengetik dan lain sebagainya. Tapi, sistemnya sendiri enggak berjalan,” tegasnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 24 Agustus. (*)