Cuan Sudah Dikenal Abad ke-9, di Cirebon Uang Logam Terbuat dari Bahan Ini, Kitab Kutaramanawa Ungkap Nilainya

Senin 28-08-2023,08:38 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

RADARMAJALENGKA.COM-JLA Brandes dalam 10 Unsur Budaya pra-Hindu dalam A Short Cultural History of Indonesia menyebut adanya beberapa unsur budaya asli yang membuktikan capaian tinggi peradaban Nusantara.

Brandes mengatakan, sebelum kedatangan pengaruh India, masyarakat Nusantara setidaknya telah memiliki 10 unsur kebudayaan sebagai kepandaian asli mereka. Di antara 10 unsur itu, menarik dicatat di sini, dia menyebutkan mata uang atau alat tukar-menukar.

Meskipun Brendes menyimpulkan demikian, sejauh ini prasasti yang ada menyebutkan fungsi sejenis mata uang barulah ditemukan di akhir abad ke-9.

Kurun ini ditengarai merupakan awal masuknya Hindu-Buddha, khususnya di Pulau Jawa. Artefak mata uang kuno yang ditemukan juga ditengarai berasal dari kisaran era tersebut.

Merujuk Harmoni Dalam Perbedaan–Bank Indonesia Dalam Dinamika Ekonomi Solo Raya yang disusun oleh BI Institute (2019), sekiranya ditilik berdasarkan periodesasi era kerajaan antara abad ke-9 sampai 13, ternyata ditemukan fakta pelbagai kerajaan tradisional di Indonesia bisa dikata masing-masing memiliki mata uangnya sendiri.

Sebutlah seperti Kerajaan Kediri di Jawa, atau juga kerajaan lain di Aceh dan Sulawesi, telah memiliki uang logam dari emas. Sementara itu, kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku, dan Banten juga telah mempunyai uang logam dari timah, perak, dan tembaga.

Toh demikian, hal ini bukan berarti mata uang telah menjadi satu-satunya alat transaksi ekonomi. Perdagangan secara barter disinyalir juga masih simultan berlangsung seiring dengan penggunaan mata uang setidaknya hingga abad ke-17.

Bagi penduduk pesisir, alat pertukaran mereka adalah ikan, garam, kulit kerang, dan lainnya. Sedangkan bagi penduduk pedalaman alat tukarnya adalah hasil pertanian seperti buah-buahan, beras, dan binatang ternak.

Bahkan hingga akhir abad ke-20, menarik dicatat, fenomena keanekaragaman alat tukar juga masih ditemui di berbagai daerah di Indonesia.

Merujuk Denys Lombard (1996), Nusa Jawa: Jaringan Asia, disebutkan masyarakat Toraja Sulawesi Tengah, misalnya, pada momen upacara kematian di sana bisa ditemui sebuah sistem tukar-menukar di mana kerbau mengambil tempat sebagai pusat.

Peran kerbau ini mengingatkan kita kepada sistem pecus Romawi. Secara etimologis berasal dari kata Perancis, ‘pecuniaire’ artinya ‘yang mengenai uang’. Jelas, bahwa kerbau menjadi alat tukar tersendiri.

Di daerah-daerah tertentu di Borneo atau Pulau Kalimantan, contoh lainnya. Di sini keramik Cina masih jadi mata uang “primitif” dalam istilah Lombard.

Sedangkan di masyarakat Bali, uang kepeng dari Cina masih dipakai sebagai mata uang di awal abad ke-20, bahkan hingga kini masih sering ditawarkan kepada para wisatawan untuk ditukarkan dengan rupiah, mata uang Indonesia.

Bicara artefak tertua perihal mata uang sejauh ini barangkali masih berasal dari Tanah Jawa. Mari kita simak lebih mendalam pada kasus moneter di Jawa abad ke-10, jauh sebelum era Majapahit di abad ke-14.

Artikel Risa Herdahita Putri, Mata Uang Zaman Kuno, yang dimuat dalam laman historia.id, mengatakan prasasti dari akhir abad 9 M hingga awal 10 M mengindikasikan mata uang perak dan emas jamak dipakai di tengah masyarakat ketika itu. Diduga jumlahnya masih sangat terbatas, mengingat nilai emas dan perak tentu berharga tinggi.

Kategori :