Wacana Pengembalian Mekasisme: Pilkada Dikembalikan ke DPRD

Wacana Pengembalian Mekasisme: Pilkada Dikembalikan ke DPRD

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Majalengka, Dr. H. Kombes Pol (Purn) Juhana Zulfan, M.M.-ist-radarmajalengka

MAJALENGKA, RADARMAJALENGKA.COMWacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mendapat dukungan dari Wakil Ketua DPRD Kabupaten Majalengka, Dr H Kombes Pol (Purn) Juhana Zulfan MM.

Menurutnya, sistem pemilihan langsung yang saat ini berlaku menyimpan berbagai persoalan mendasar yang justru melemahkan esensi demokrasi serta efektivitas pemerintahan daerah.

"Sudah waktunya kita mempertimbangkan kembali mekanisme pemilihan kepala daerah oleh wakil rakyat. Anggota DPRD adalah representasi rakyat karena mereka dipilih langsung oleh masyarakat. Maka, sangat wajar jika mereka diberi mandat untuk memilih kepala daerah," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini saat diwawancarai, Jumat (1/8/2025).

Ketua DPC PKB Kabupaten Majalengka sekaligus tokoh asal Kecamatan Ligung tersebut memaparkan sedikitnya empat alasan utama yang menjadi dasar pemikirannya agar sistem Pilkada langsung dikaji ulang dan dikembalikan ke mekanisme pemilihan oleh DPRD.

BACA JUGA:PPATK Blokir Rekening Pasif, BRI Buka Suara

Pertama, menurut Juhana, biaya kontestasi dalam Pilkada langsung sangat tinggi. Proses kampanye, sosialisasi, hingga lobi politik membutuhkan dana miliaran rupiah.

Bahkan dalam Pilkada Serentak 2024, banyak calon kepala daerah yang disebutnya menghabiskan dana hingga puluhan miliar rupiah hanya untuk pencalonan.

“Jumlah sebesar itu belum tentu membuat calon terpilih. Yang lebih mengkhawatirkan, praktik politik uang justru semakin merajalela. Ini mencederai semangat demokrasi itu sendiri,” tegasnya.

Kedua, ia menyoroti panjangnya tahapan dalam proses Pilkada yang membuka ruang bagi konflik serta intrik politik yang tidak sehat.

BACA JUGA:Kisah Pengusaha Pakan Ternak dari Ponorogo Ini Buktikan KUR BRI Bisa Bikin Usaha Berkembang

Proses yang berlarut-larut tersebut, menurutnya, berdampak buruk pada stabilitas sosial dan pemerintahan.
“Kita melihat bagaimana ASN yang netral pun bisa menjadi korban politik, hanya karena dianggap tidak mendukung calon tertentu. Mereka bisa dicopot atau digeser dari jabatannya, padahal tidak melakukan pelanggaran apa pun,” ungkapnya.

Ketiga, Ketua Umum Majelis Alumni Babakan Ciwaringin (Makom Albab) ini menilai bahwa Pilkada langsung kerap memicu konflik horizontal di masyarakat. Persaingan antarpendukung calon, katanya, dapat memecah belah komunitas bahkan keluarga.

“Perbedaan pilihan bisa menimbulkan dendam politik yang bertahan hingga lima tahun. Yang kalah akan terus dibayangi stigma dan tidak diakomodasi. Ini realitas yang sering terjadi di lapangan,” jelas Juhana.

Keempat, ia menyoroti maraknya tim sukses yang menuntut balas jasa setelah kandidat yang didukungnya menang. Banyak dari mereka, menurutnya, mengincar jabatan atau proyek meski tidak memiliki kompetensi.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait