"Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kanibalisme adalah hal lazim,” tulis Friedrich Schnitger, termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe .
"Seperti kami, siapa pun yang kenal betul dengan negeri dan penduduk Sumatera Utara pasti paham bagaimana ilmu sihir, jampi-jampi, dan sejenisnya, memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat ini.”
Menurut Bernard HM Vlekke, kanibalisme sebagai ritual karena unsur utama dalam animisme adalah panteistik, bahwa segala sesuatu dan segala makhluk punya “jiwa” dan “energi kehidupan.”
"Kebiasaan kanibalisme dan pengayauan yang kini sudah punah bertujuan untuk mengambil-alih ‘energi kehidupan’ dari musuh yang terbunuh tersebut,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia .
Dalam kasus lain, kanibalisme berlaku untuk seorang yang dituduh mata-mata dan tawanan perang.
"Mereka dapat menangkap orang asing yang bukan berasal dari daerahnya, mereka akan menahan orang itu. Jika orang itu tidak sanggup menebus dirinya sendiri, mereka akan membunuhnya dan memakannya langsung di tempat,” tulis Marco Polo.
"Itu adalah kebiasaan yang sangat buruk dan menjijikan.”
Kanibalisme di Nusantara berangsur-angsur menghilang setelah pada 1890 pemerintah kolonial Belanda melarang segala bentuk kanibalisme Hindia Belanda. (*)