Terbatasnya Akses dan Partisipasi Pendidikan di Indonesia: Tantangan dan Solusi
Elza Salsabillah Arriyaha Lawaqih Taufik -istimewa-Radarmajalengka.com
Oleh: Elza Salsabillah Arriyaha Lawaqih Taufik (Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Sunan Gunung Djati Bandung)
Pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa, pendidikan sangat dibutuhkan dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Di Indonesia, meskipun telah banyak upaya untuk memajukan sektor pendidikan, masalah mengenai akses dan partisipasi pendidikan masih menjadi isu yang sangat mendesak untuk ditangani.
Ketidakmerataan akses pendidikan di berbagai wilayah, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda, menciptakan kesenjangan yang cukup signifikan.
Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak di Indonesia tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka dengan baik, sehingga berpotensi menghambat perkembangan mereka di masa depan.
BACA JUGA:Majukan Pendidikan Indonesia, Yamaha Resmikan SMK Kelas Khusus SMK Mekanik Cibinong
Terbatasnya akses pendidikan yang memadai menyebabkan angka putus sekolah di Indonesia cukup tinggi. Banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan berbagai faktor, termasuk kondisi ekonomi keluarga yang sulit.
Dalam banyak kasus, anak-anak dari keluarga miskin terpaksa berhenti sekolah untuk membantu perekonomian keluarga, sehingga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Selain itu, kualitas pendidikan yang tidak merata juga menjadi perhatian serius. Di daerah terpencil, siswa sering kali tidak mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna akibat kurangnya fasilitas dan tenaga pengajar yang berkualitas.
Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menyebutkan bahwa masih terdapat anak-anak yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka, terutama di jenjang SD hingga SMA. Pada tahun 2022 sampai 2023, dilaporkan angka putus sekolah di tingkat SMA mencapai 1,38%, yang berarti terdapat 13 dari 1.000 penduduk yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka di tingkat tersebut. Di jenjang SMP, angka putus sekolah tercatat 1,06%, sedangkan di SD adalah 0,13%.
Meskipun angka-angka ini terlihat kecil, jika dilihat dari jumlah keseluruhan siswa, angka tersebut mencerminkan puluhan ribu anak yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam konteks yang lebih luas, pada tahun ajaran 2022/2023, jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, di tingkat SMP sebanyak 13.716 orang, dan di tingkat SMA sebesar 10.091 orang. Di tingkat SMK, jumlah siswa yang putus sekolah mencapai 12.404 orang.
BACA JUGA:Pasangan Hade Optimis Menangi Pilkada Majalengka
Tingginya angka putus sekolah di Indonesia salah satunya disebabkan oleh perbedaan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Di daerah perkotaan, fasilitas pendidikan umumnya lebih baik dan lebih mudah diakses. Sebaliknya, di daerah pedesaan, banyak sekolah yang kekurangan fasilitas dasar seperti ruang kelas yang memadai, buku pelajaran, dan tenaga pengajar yang berkualitas.
Data menunjukkan bahwa tingkat putus sekolah di desa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota. Di tingkat SMA, angka putus sekolah mencapai 43,62% di desa, sementara di kota hanya 26,75%. Kesenjangan ini mencerminkan tantangan besar dalam memastikan akses pendidikan yang merata bagi semua anak.
Selain perbedaan akses pendidikan akibat wilayah, kondisi perekonomian yang buruk merupakan salah satu faktor lain yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Banyak anak dari keluarga miskin terpaksa berhenti bersekolah untuk membantu ekonomi keluarga mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: