Jalan Purba Penghubung Majapahit-Galuh Ini Ada Punden Berundak Mengarah Kiblat
Jalan sepetak tanah yang dilewati pun diperkirakan telah ada sejak abad ke-13.--
RADARMAJALENGKA.COM-Orang-orang di masa lalu rupanya telah menggunakan jalan raya untuk memudahkan perjalanan mereka.
Hal itu terungkap saat penelusuran di kawasan hutan yang luasnya sekitar 25,5 hektar. Lokasinya berada di jalan poros Ciamis-Banjar.
Jalan sepetak tanah yang dilewati pun diperkirakan telah ada sejak abad ke-13. Jalan dari tanah namun sepadat campuran beton ini merupakan salah satu kearifan leluhur di masa lampau.
Jalan ini disebut menghubungkan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit. Kiri kanan jalan juga dipenuhi rumpun bambu dan beragam tumbuhan.
Bahkan ada beberapa jenis pohon yang sudah langka dapat ditemukan di situs ini.
Selama penelusuran, disambut sejumlah hewan liar, terutama monyet (Macaca fascicularis) yang berkeliaran bebas di dalam situs yang memang sangat rimbun dan mirip hutan belantara.
Setidaknya ada empat atau lima kelompok monyet, diantaranya kelompok di dekat pos masuk, kelompok di sekitar Situs Pangcalikan, Sabung Ayam, dan Cikahuripan. Monyet-monyet tersebut tinggal di pohon-pohon. Bahkan ada pohon Binong berdiameter tiga meter yang diperkirakan mencapai usia sekitar 600 tahun.
Jalan setapak yang berada di kawasan hutan ini memperlihatkan sunyi dari tanah yang diselimuti bebatuan, menjadikan area ini seperti sepotong taman dari masa lalu yang terawetkan.
Di depan dekat pintu masuk ada tumpukan bebatuan berupa sisa struktur bangunan yang disebut Situs Pangcalikan berupa lahan berpagar besi yang terdiri dari tiga halaman yang dibatasi susunan batu dengan ketinggian sekitar 1 meter.
Pada halaman ketiga paling utara, terdapat bangunan cungkup tanpa dinding diselubungi gorden transparan. Di situlah terdapat batu putih berukuran 92 x 92 cm dengan tinggi 48 cm, yang disebut Pangcalikan oleh masyarakat.
Di dekat batu Pangcalikan terdapat batu datar berbahan andesit dan sekumpulan batu lainnya.
Kemudian, jalan setapak berikutnya berbelok ke kanan menuruni jalan, akan sampai ke Sipatahunan, merupakan bagian tepian Sungai Citanduy yang landai dan tidak terdapat obyek arkeologi.
Sedangkan Sanghyang Bedil berupa bangunan susunan batu berbentuk segi empat, yang memiliki celah sebagai jalan masuk pada sisi selatan. Di tengah lahan terdapat dua batu panjang dalam keadaan patah. Satu di antaranya dalam posisi tegak dan yang satunya lagi roboh. Batu yang roboh ini disebut Sanghyang Bedil karena bentuknya mirip senapan (bedil).
Menyusuri kembali jalan setapak sunyi, hingga sampai di area Situs Panyabungan Hayam berbentuk melingkar dan di tengahnya terdapat pohon bungur. Pada sisi utara terdapat tatanan batu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: