Penistaan Agama, Sebelum Panji Gumilang Dulu Ada Djojodikoro-Djawi Hiswara

Penistaan Agama, Sebelum Panji Gumilang Dulu Ada Djojodikoro-Djawi Hiswara

Pertemuan Sarekat Islam di Blitar, tahun 1914. (HOS Tjokroaminoto duduk, kedua dari kanan{./Repro--

RADARMAJALENGKA.COM-Dalam kasus penistaan agama di media bukan hal yang baru terjadi.

Pada masa Hindia Belanda pernah terjadi penistaan agama di media, pada saat itu terjadi di media cetak berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini terjadi di media sosial.

Penistaan agama di masa Kolonial Belanda terjadi tahun 1918 di Kota Surakarta yaitu artikel berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” menimbulkan reaksi keras dari umat Islam.

BACA JUGA:Benarkah Kepemimpinan di Indonesia Erat dengan Kekuatan Mistis?

Pergerakan aksi protes dipimpin oleh Tjokroaminoto dengan mendirikan Tentara Kanjeng Nabi Mohammad (TKNM). Pada saat itu kondisi media terbatas pada media cetak berupa surat kabar atau pamflet.

Artikel “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” dicetak di surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 Nomor 5 pimpinan Martodarsono. Artikel ini ditulis oleh Djojodikoro mengandung penistaan agama yaitu “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium”

Pengaruh Tjokroaminoto sebagai pemimpin TKNM meluas sampai seluruh Jawa dan Sumatera dengan didirikan sub komite TNKM di wilayah Jawa dan Sumatera. Puncaknya terjadi pada 24 Februari 1918 terjadi aksi serentak di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dengan jumlah peserta aksi sekitar 150.000 orang.

BACA JUGA:Jakarta Dilanda Krisis, Bendera Pertama Dijahit dengan Mesin Singer Digerakkan Tangan Saat Ibu Fat Hamil

Penistaan agama di era kololonial Belanda yang dimuat di surat kabar Djawi Hiswara yang dicetak di Surakarta kemudian menyebar ke Surabaya dan akhirnya menjadi isu nasional.

Sikap intoleransi yang dilakukan oleh Martthodarsono sebagai pemimpin redaksi Djawi Hiswara dan Djojodikiro sebagai penulis, tidak dibalas oleh umat Islam dengan sikap intoleransi juga.

Pendirian TKNM oleh Tjokroaminoto tujuannya bukan untuk menyerang secara fisik pelaku penistaan agama.

Seperti yang dilakukan oleh Abikoesno Tjokrosoeroso di Surabaya, ia menulis dalam surat kabar Oetoesan Hindia yang berisi seruan untuk membela Islam dan tuntutan kepada Sunan dan Pemerintah Hindia Belanda agar menghukum Martodarsono dan Djojodikiro.

BACA JUGA:Syifa Keluar Pesantren Jadi Korban Ilmu Raga Sukma, Kang Ujang Bustomi Lawan Eyang Jenglot

Hal serupa juga dilakukan oleh Sjarief di Surakarta dalam surat kabar Islam Bergerak 20 Maret 1918 berisi protes terhadap Djojodikoro dan Martodarsono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: