RADARMAJALENGKA.COM- Indonesia sering disebut tampak cocok untuk bergabung dengan BRICS. Ini merujuk blok ekonomi negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (Afsel).
Namun, saat Presiden Afsel Cyril Ramaphosa mengumumkan perluasan keanggotaan BRICS di Johannesburg pekan lalu, Indonesia tidak ada dalam daftar tersebut. Hanya ada Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Padahal, jelang KTT BRICS, sekitar 40 negara tampaknya telah menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kelompok tersebut, termasuk Indonesia. Namun, setelah menghadiri pertemuan di Johannesburg, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan untuk menjadi anggota namun tidak ingin terburu-buru.
Absennya Indonesia dalam kelompok itu pun menjadi sorotan. Salah satunya media asing Al Jazeera yang membahas hal tersebut melalui artikel berjudul 'Indonesia's absence from bigger BRICS echoes decades of non-aligned policy'.
"Keputusan Indonesia untuk tidak ikut serta dalam BRICS meskipun terdapat kesamaan dengan negara-negara berkembang lainnya mencerminkan kekhawatiran lama akan keterlibatan mereka dalam aliansi geopolitik serta ketidakpastian mengenai manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari keanggotaan tersebut," tulis media tersebut mengutip kata para analis, dimuat Senin (28/8/2023).
Indonesia, dikatakan Al-Jazeera, merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa. RI, dikatakannya, merupakan negara berkembang yang menurut beberapa perkiraan dapat masuk dalam lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada pertengahan abad ini.
"Hal ini tidak terlalu mengejutkan, karena banyak analis dan mantan diplomat telah memperingatkan untuk tidak bergabung dengan BRICS dan manfaat ekonominya tidak jelas dan nyata, sedangkan dampak politik dan ekonomi akibat reaksi dari Barat sudah cukup pasti," muat Al-Jazeera lagi mengutip pengamat lokal Radityo Dharmaputra, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
"Citra Indonesia yang dipandang sebagai bagian dari dunia Tiongkok (China)-Rusia akan menjadi masalah," ujarnya. "Apalagi Indonesia sangat mengedepankan kebijakan luar negerinya yang independen dan aktif. Bagaimana Anda bisa menjualnya ke negara lain, padahal berada di grup yang sama dengan Tiongkok dan Rusia?".
Disinggung pula bagaimana Indonesia sebagai salah satu anggota pendiri Gerakan Non-Blok. Organisasi itu aktif menjaga netralitas selama Perang Dingin dengan menganut pendekatan luar negeri "bebas-aktif", yang independen dan aktif, termasuk mengambil peran dalam menengahi perdamaian di seluruh dunia.
Di sisi lain, Indonesia pun dianggap lebih mengincar kelompok global lain yang menawarkan manfaat lebih nyata di bidang perdagangan, seperti Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD sendiri saat ini beranggotakan 38 negara.
"Indonesia ingin bergabung dengan OECD dan bergabung dengan BRICS akan dianggap sebagai hambatan untuk mencapainya," muat media itu lagi masih mengutip Radityo
Komentar lain pun diambil dengan menggaitkannya ke Amerika Serikat (AS). Al-Jazeera mengutip dosen hubungan internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani di Bandung, Yohanes Sulaiman, yang mengatakan tidak ada manfaatnya bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.
"Kami belum melihat hasil nyata apa pun dari BRICS selain sebagai kelompok untuk melawan Amerika Serikat dan tampaknya tidak ada kemajuan nyata yang dicapai," katanya.
"Upaya BRICS untuk menantang dominasi dolar AS kemungkinan besar juga akan dianggap tidak menarik bagi Indonesia. Ini adalah keputusan yang sangat rasional," katanya. "Semuanya akan sama apakah kita bergabung atau tidak". (*)