
“Misalnya saja partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri,” kata Andrian dalam keterangan tertulis, Jumat (13/8).
Selain itu, ada hasil survei yang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 98 persen partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir, dan 40 persen memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.
Baca juga: Airlangga : Maksimalkan Potensi Daerah dan Percepat Penyerapan Anggaran Penanganan Covid-19
Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.
“Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” jelas Andrian menanggapi hasil survei tersebut.
Hal ini juga selaras dengan hasil survei yang menemukan bahwa hampir 70 persen dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir.
Alasan yang dominan adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap tidak terjangkau.
Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan untuk melayani pasien. Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini.